Minggu, 18 September 2011

Penggalan Masa Yang Tertinggal

Tak ada yang perlu dijabarkan tentang sebuah perasaan. Perasaan? Setiap orang pasti memilikinya. Aku juga begitu. Ini hanya perasaan sederhana yang begitu indah. Istimewa karena kesederhanaannya.
Lantas, ini sebuah cerita tentang sebuah perjalanan kecil di akhir masa putih-biru. Di bawah naungan sebuah gedung dengan sebutan ‘sekolah’. Tanpa ada ruang lingkup yang lebih besar. Hanya... seperi itu...

**
Entah karena keberuntungan atau memang takdir. Aku juga tidak tahu, hari itu, detik itu, aku mengecap sesuatu baru. Hal yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Lantas, apakah hanya sebatas ini? Atau...

**
“Jahra!” seru seseorang.
“Kenapa?” Zahra pun langsung menghampiri anak tadi. Aku? Jangan ditanyakan. Sudah pasti mengekori kemana temanku yang satu itu pergi.
Percakapan singkat terjadi diantara keduanya, serius? Tidak sama sekali. Yang ada mereka justru membicarakan salah seorang guru kami lengkap dengan gaya mengajarnya. “Iye... nanti gue titipin salam sama Pak Anto!”
Aku menatapi ketiga orang itu. Terpaku pada keduanya. Ada yang menarik diantara kedua orang –yang satu sedang mengobrol dengan Zahra. Garis wajah itu begitu... stop! Kenapa aku jadi berdebar seperti ini?
“Oke deh! Balik dulu gue!” pamit Zahra yang langsung menarik tanganku menuju kelas.
Aku menyenggol perutnya pelan, “Kenapa?”
“Hah? Itu... pada mau ngumpul,” sahutnya singkat.
“Eh... itu temen lo kelas 7?” tanyaku lagi. Entahlah, hanya sebatas... penasaran?
“Enggak kok. Yang manggil gue doang. Kalo yang temen-temenya itu sih nggak kenal gue. Kenapa emang...? Ada yang lo taksir? Ecie…
Aku memutar mataku kesal. Anak ini... “Tau akh! Bodo...”

**
Ini hariku, dimana sejuta bunga datang dalam mimpi fanaku

Hari kenaikan kelas?
Ini bukanlah hari yang istimewa untuk anak-anak yang bukan merupakan anak OSIS. Toh pada akhirnya kami akan tetap melakukan KBM sampai pukul 2, seperti biasa. Membosankan.
Tapi aku rasa, kali ini akan benar-benar sangat-sangat berbeda. Percaya atau tidak. Aku. Akan. Sekelas. Dengan. Pemuda. Itu.
“Kenapa lo? Pagi-pagi udah jadi patung selamat datang?” ledek Rio dari belakang. Ya ampun! Sampai kapan aku harus terus sekelas dengan orang gila ini?
“Tuh kan... udah siap meledak lagi... ckck...” dengan gaya yang sok dramatis Rio bergeleng pelan. “Sekali-kali jadi cewek yang feminim sedikit bisa?”
Aku langusng saja menatapnya tajam, “Jadi cowok diem bisa?”
“Kalo ditanya jangan balik nanya. Tau?”
“Emang ada aturannya?” ujarku membalikkan.
Dengan wajah yang dibuat ‘masa bodo amat’ pemuda itu langsung saja duduk di kursi. “Eh, lo duduk di belakang gue yak? Haha...”
Aku segera saja berjalan kekursiku dan menyambar tas. Bermaksud ingin pindah tempat duduk. Dimana saja. Asal jangan di dekat Rio. “Yeeh...” aku mengerucutkan bibirku.
Sudah tidak ada lagi kursi kosong di dalam kelas ini. Payah.
“Udah, takdir lo emang di sini. Udah duduk sana.”

**
Gabriel Stevent.
Dua kata saja? Namaku juga cuma terdiri dari dua kata. Tapi ada yang magis dalam kedua kata itu. Kalian mau tahu apa artinya? Tanya saja sendiri dengan kedua orang tuanya.
“Ngeliatin siapa sih?” lagi-lagi. Seribu lagi. Kenapa harus pemuda ini sih? Ya Tuhan... salah apakah hambamu ini?
“Oh, Gabriel. Lo suka?”
Hah? Apa? Suka? Apa iya?
Tuh kan... gue bilangan yak?” Belum juga aku menolak, suara Rio sudah terdengar di seluruh penjuru kelas, “Gabriel ada yang suka sama lo. Namanya...”
Sebelum potongan kalimat itu meluncur dengan cepat dan menimbulkan hal-hal menyebalkan berbau ledekkan, segera saja kuinjak kakinya. “AUW! SAKIT!” jeritanya.
“Makanya jangan ngomong yang aneh-aneh. Gue cubit lo nanti.” Ancamku.
Rio mengerutkan kedua alisnya dan berbisik, “Tuh berarti lo beneran suka sama Gabriel.”
Sekali lagi, dengan mulut terkatup, aku injak kakinya dan kucubit lengannya dengan kuku-kuku. “Eh? Sakit ya?” tanyaku saat ia mulai mengaduh. “Sorry. Nggak. Sengaja!”

**
Terhanyut dalam mimpi, memeluk angin dalam nyataku

Aku menguap pelan dan kembali kepada bukuku. Pada pelajaran kali ini –tepatnya pelajaran fisika- aku sama sekali tidak memperhatikan guruku yang sedang berceloteh ria tentang hukum bejana berhubungan.
“Lo mau sampai kapan diem aja?”
Sontak, aku mengangkat wajahku dan mendapatkannya sedang duduk dengan buku dihadapannya. Sesekali tanggannya bergerak menyusuri buku itu dan bergumam sendiri.
Lo ngapain di sini?” tanyaku sedikit canggung. Jujur saja, meski pun kami sekelas, aku belum pernah berbicara secara ehm... apa ya? Mengobrol santai mungkin.
“Lo nggak ngedengerin tadi di suruh kerja kelompok?”
Ah. Dia selalu saja seperti itu. Berbicara tanpa menatap orang yang mengajukan pertanyaan. “Emang iya?”
Benar saja, aku sekelompok dengannya karena pemilihan dari guru. Ternyata guru fisikaku berpihak padaku. Haha,
“Jangan pernah ngebalikin pertanyaan kalo belum di jawab.”
“Lo sama aja sama Rio.” Cetusku yang lalu menarik buku IPA dengan malas.
Keheningan terjadi begitu saja. Kami sama-sama sibuk dengan tulisan dan lambang-lambang memusingkan ini. Lebih baik belajar Biologi dari pada belajar Fisika. Ah. Atau lebih baik belajar Bahasa? Yang penting jangan ada garis yang memusingkan.
“Eh, menurut lo, nanti Bu Rai masuk nggak ya? Gue males banget nih belajar sejarah...”
Dia curhat? Atau lagi bergumam dengan tembok? Aduh... habis matanya terus meantap buku sih.
Heh... kumat lagi lo?” Oh, dia berbicara denganku ternyata.
Aku membalik sekilas lembaran itu, “Gue kira ngomong sama tembok, tanpa frekuensi gitu.”
Dia melengos dan berdecak pelan. Apa aku tidak salah lihat? Gabriel...

**
Manusia akan menua, tempat bisa berubah, kita bisa melupakan. Karena itulah kamera digunakan, untuk merekam hal-hal yang tidak dapat diingat manusia dengan sempurna.
Jika itu yang dikatan Winna Efendi dalam Refrain. Maka aku akan menyetujuinya. Karena sekarang –setelah sekian tahun terlewatkan- tempat-tempat ini sudah berubah. Perlahan-lahan.
Aku membuka pintu kayu itu pelan. Deritan kecil pun terdengar. Ini... tempat itu? Ruang kelasku dulu?
Aku meduduki sebuah kursi di sana. Tepat di depan meja guru. Memutar dan menatapi setiap inci ruangan ini. Warna temboknya sudah berubah, tidak lagi putih seperti dulu. Letak lemari sudah tidak di belakang kelas. Meja guru sudah bergeser. Sekarang sudah ada LCD yang bergelantung di depan kelas. Tidak seperti dulu yang masih menggunakan OHP.
Apakah... rasaku juga sudah berubah?

**
Tak perlu ada yang tahu. Karena ini adalah duniaku.

“Jadian nggak ngasih tahu. Oke fine, thank you.” Ujarku sambil bersedekap tidak jelas di depan Zahra dan Alvin.
“Ah, lo apaan sih, nggak jelas gitu bahasa.” Ujar Alvin yang langsung menyerobot ucapannku.
Tanpa perintah lagi aku langsung duduk dihadapan kedua makhluk itu. Menyodorkan kedua bilah tanganku dengan bibir yang mengerucut beberapa centi. “PJ.”
Peje-peje ae. Apa tuh? Lo tuh sekali-kali ngasih PJ.” Protes Zahra.
“Tau lo, kapan kita dapet PJ? Nggak pernah jadian lo. Lo mulu yang minta PJ sama gue. Apaan tuh?” aduh, si Alvin ini. Protesnya berlebihan. Lagi pula, siapa suruh dalam setahun jadian dalam jangka waktu cepat dan move on dalam watu satu hari?
“Lah... elo jadian terus sih, Vin.”
“Emang lo nggak ada cowok yang lo taksir gitu?
Ini lagi si Zahra. Kenapa harus pertanyaan seperti itu. Tidak adakah pertanyaan yang menyangkut tentang hati? Harus ya?
Mungkin karena terdiam terlalu lama, Alvin berkata spontan. “Lo suka Rio ya?”
“Bukan kok.” Jangan katakan jika nada bicaraku sekarang melemah dan hilang.
“Boong banget sih?” kali ini suara Zahra, “Lo kan emang deket sama dia.”
Telunjukkku memutari bingkai kotak jam tanganku, membiarkan satu putaran menghabiskan satu detik. Membiarkan watu itu terbuang percuma. “Bukan. Yaudah kalo nggak percaya.”

**
Berdiam. Bercerita kepada angin. Dan membiarkanya menyampaikan kepada sang matahari, bahwa aku lelah untuk menanti.

Kapal berlayar tanpa angin
Bunga-bunga mekar tanpa kupu-kupu
Cahaya datang tanpa merambat

Aku... bukan mereka yang bisa sempurna dengan sendirinya
Aku adalah aku yang ingin menjadi sempurna denganmu

“Ini... puisi buat siapa?” suara Rio langsung saja menyusup cepat di telingaku. Membuatku secara reflek merebut kertas itu. “Buat Gabriel ya...”
Aku melumatnya menjadi gumpalan kertas tanpa arti dan memasukkannya ke dalam tas. “Bukan urusan lo. Udah sana.”
Aku mendesah pelan. Membiakran partikel udara masuk dan keluar lagi. “Iya. Emang buat Gabriel.” Gumamku pelan. Berharap angin-angin menghantarkan gelombang itu. Tapi naas, jarak antara aku dan Gabriel terlalu jauh.

**
Tap... Tap... Tap...
Di lorong terujung di Unit 1. Tanpa ada yang tahu, Gabriel berjalan menuju ruang kelasnya dulu. Sendirian. Tanpa mengubris pensi yang sedang di gelar almamaternya ini.
Setibanya di lantai dua, ia mendorong pelan pintu kelas yang terletak di sebelah tangga. Baru saja ia membuka pintu itu. Di sana, di barisan terujung. Gadis itu... Shilla.
“Hey.”

**
Ritme itu memusingkan. Aku tidak mengerti akan hal itu. Tapi yang aku tahu, kau menikmati setiap alunannya.

Dum... tag... ting... dum.. dum...
Pensi. Kali ini diakan di akhir semester satu. Satu hari menjelang pengambilan nilai oleh orang tua murid. Hampir semua ekstrakulikuler di sekolahku mengisi acara ini. Termasuk ekstra yang baru berdiri dua tahun lalu itu. Perkusi.
Perkusi, sebuah grup yang memainkan music dari barang-barang bekas. Galon, botol kaca, tam-tam, sendok atau tong-tong besar. Ekstra ini benar-benar melejit sejak pertama kali didirikan.
Gabriel menunduh sopan. Sepertinya ia menjadi komandan dalam grup itu. Dia memukul drumnya dua kali dan hentakkan ketiga mereka semua sudah bermain. Entahlah, aku tidak mengerti dimana letak keharmonisannya. Padahal, nada itu bersaut-sautan satu sama lain dan hentakannya pun terlalu... yah... seperti itu.
Aku mengarahkan kamera digital ini (tolong dicacat, ini bukan masa dimana sudah ada SLR dkk) membidikkannya tepat pada gabriel.
“Eh, lo nggak ansambel?”
Aku memutar badanku dan mendapati Rio di sana, dengan gitar dan baju hitam berdasi putih –sama sepertiku. “Lo aja belum ke atas...”
Dia hanya tersenyum mengejek, “Yaudah ayok!”
“Aah. Nanggung ini... perkusi,” rengekku saat pergelangan tanganku ditarik sekilas olehnya.
“Pasti Gabriel ya... hayo...”
“Tangannya biasa bisa mas?” ujarku menampik telunjuk yang ia goyangkan di depan mataku. “Udah ayo!”
Aku menapaki setiap tangga. Membiarkan gelombang itu memasuki telingaku. Membiarkannya tertinggal lagi dibelakang. Lantas... apa yang akan terjadi?

**
Berjalan dalam waktu, menghilang dalam masa itu. Aku... merindukanmu.

“Yang nggak masuk siapa?” begitulah kira-kira kalimat yang harus aku ucapkan setiap bel jam pertama berbunyi.
“Gabriel... sama... udah deng.” Seru sebuah suara.
Aku menulis namanya di papan absent dan bergumam, “emang ada ya di kelas kita yang namanya udah deng?”
“Nggak update sih lo. Makanya upgrade ke windows 7, mozilla 4.1, pake avir, kalo kurang juga pake google chroome, biar updatenya cepet.”
“Nyeh. Bodo ah.”
Aku segera berjalan menuju kursiku. Barisan pojok dekat pintu, nomor keempat dari depan. Terlalu belakang? Yah... inilah manusia yang selalu terlambat sehingga tidak mendapatkan kursi stategis di awal semester.
Gabriel. Kemana ya pemuda itu?

Dari tengah, aku menarik garis itu kesamping, lalu kebawah, melengkung di bagian bawahnya dan naik sedikit, membuat lagi lengkungan lain di atas. Begitu juga huruf-huruf berikutnya. Aku buat dengan lambat.
Kemana gabriel? Ini sudah hari ke tiga ia tidak masuk sekolah. Pasti besok seksi kekeluargaan menjenguk.

Betul saja. Zahra sudah bersiap untuk menjenguk Gabriel. Untung saja jabatan itu diisi oleh Zahra, setidaknya aku memiliki suatu alasan untuk melihat keadaannya. Iya kan?

**
Pergi dan menjauh. Hilang dan tertelan. Inilah ujung pertemuan.

Beginilah nasib anak yang menggunakan tangan kidal bermain gitar apalagi saat pementasan. Aku harus bersedia di tempatkan di bagian terluar dan terbelakang. Guna mempernyaman pemain lagian –agar leher gitarku tidak beradu dengan leher gitar orang lain.
Aku mulai memetiknya satu persatu. Membiarkannya senada dengan suara gitar 1. Ah. Ini benar-benar parah. Suara gitarku lebih rendah dua mol sepertinya. Tuh... terdengar aneh, kan.
Setelah beberapa waktu menyesali kenapa aku tidak memainkan gitarku sebelum pementasan, musik mulai memasuki intro lagu. Sudah, jangan di pikirkan lagi, yang ada nanti aku justru tertinggal lebih jauh. Dan... “Udah... Cuma satu mol ini...” celetuk Rio.
Satu mol? Dua mol ah. “Nggak beda-beda banget.” Lanjutnya lagi, “Mending lo liat ke kiri noh, Gabriel lagi mau foto.”

Baru saja aku turun panggung, Zahra sudah menghampiriku dengan selembar kertas absent. Pensi seperti ini masih harus mengurusi tugas kelas?
“Tadi lo kayaknya dicariin Gabriel deh. Urusan... absent.”
“Emang dia ketua kelasnya?”
“Mana gue tau, tanya aja sana. Eh, dia bilang sekalian bawa gitar! Dia mau pinjem buat tampil!” seru Zahra lagi.
Aku langsung menyambar tas gitar dan berlari menuju kelasku yang ada di unit 1. Aku rasa dia sekarang ada di kelas.
“Oke deh, dari pada gue banyak ngomong nih, mending sekarang kita dengerin aja nih, ada yang mau nyanyi dari anak kelas 9-3.”
Ah. Masa bodo siapalah yang mau benryanyi dari kelasku. Yang penting sekarang adalah Gabriel mencariku.
Cultivate your hunger before you idealize.
Astaga. Itu... suara Gabriel.

**
Aku mengangkat wajahku saat pintu itu terdorong pelan. Menghadirkan sosok yang bahkan tidak aku tahu keberadaannya setelah hari kelulusna itu. “Hey.”
Aku tersenyum kaku. Wajahnya sudah benar-benar berubah. Tidak lagi seperti dulu. Kini kumis tipis tergambar jelas di bawah hidungnya, dia juga sekarang menggunakan kaca tebal. Rambutnya kini lebih panjang dan berantakkan. Tidak lagi rapi seperti dulu.
Ini... memang berubah.
“Lo inget gue kan?”
Aku mengangkat wajahku dan tersenyum, “Gabriel kan?”
Dia tertawa kecil dan langsung duduk di sebrangku, “Inget lo? Hahaha... anak-anak yang ada nggak inget gue lho. Parah kan?”
“Lo... berubah banyak sih.”
“Hah?” dia menatapku sekilas, mata itu... kini benar-benar teduh. “Iya kali ya? Lo juga banyak berubah.”
Aku melengos sekilas, “Apanya yang berubah?”
“Dulu lo seringnya bawa-bawa camera digital, sekarang SLR. Bellum lagi kalo udah hari Kami-Jumat-Sabtu, lo selalu bawa-bawa gitar. Udah kayak pengamen. Paling berisik. Berantem sama Rio, kemana-mana sama Zahra.”
Sebegitu hafal kah dia tentangku? Iya?
“Gue masih bawa gitar kok. Tuh...” aku menunjuk meja guru. “Mau pake?”
“Sini mana....” pemuda itu langsung menyambar dan kmebali lagi duduk di hadapanku.
Baru ia mau membuka mulutnya, aku segera bidikkan SLRku. Dia tersenyum kaget. “Kalo ngefans jangan foto kayak gitu dong.”
Memang... ada yang berubah. Rasa ini tidak lagi seperti dulu. Tidak lagi seindah dulu. Tidak lagi aku harapkan senyum itu. Kini... tidak ada lagi getaran. Hanya ada kekaguman dan kilasan masa lalu itu.
***
Ini kayaknya cerpen pas kelas 8 awal-awal gitu deh. Yang masih ada web yang ICL yang di ning itu deh kayaknya. Wak, nggak di post di sana -____- Bodo aja gue mah.
Itu cuma sekedar nama doang, bener deh. Gue paling nggak bisa bikin nama. tapi... jan di sangkut pautkan dengna hal2 lainnya.
Buat NADIA! kalo mampir di sini wajib comment pokoknya, jan mampir doang

1 komentar:

  1. Aduh, ga' ngerti ni ama ceritanya :(
    Btw ini karangan apa kenyataan?????

    BalasHapus

Tinggal jejakmu di bawah jejak kecilku. Silakan menggunakan Name/URL atau Anonymous :)