Minggu, 30 Juni 2013

Fanfiction JKT48 - Burung-Burung Kertas

Burung-Burung Kertas

Awan-awan berarak membelah langit senja. Membiarkan warnanya yang putih bersih sedikit tercemar warna kekuningan yang begitu hangat. Kenapa malam harus disambut orkestra yang begitu mengagumkan?
Senja adalah perpisahan. Perpisahan yang begitu mengagumkan diujung manisnya harapan karena pertemuan. Kemudian pelan-pelan senja itu akan menghilang, dan benar-benar menjadi perpisahan seutuhnya. Yang tidak akan menemui matahari di cakrawala.

Kinal menepi di ujung jendela, menghadiri pekarangan depan rumahnya. Sayang ya, jendela ini membelakangi matahari tenggelam. Tapi bukankah lebih baik kita tidak melihat perpisahan?
Kusen kayu berwarna putih itu ia remas kuat-kuat. Warna langit sudah mulai berubah menjadi merah-kebiruan yang begitu tua. Ah, sudah harus berpisah sekarang ya?
Jarinya bergetar pelan, menarik tali tipis yang berbandul punggung burung kertas hitam. Lantas tangannya yang lain menyusuri jendela. Membiarkan ujung tali yang satunya tercantol di jendela.

Burung kertas itu bergoyang-goyang, terlihat seperti siluet. Siluet burung kertas hitam, burung kertas hitam dengan latar langit yang membelakangi senja.
Langkah kaki Kinal mulai mundur. Memutar kursi meja belajar, hanya untuk mendapatkan view burung kertasnya. Menyadari matahari sudah benar-benar tertelan di bagian barat sana.

Sudah malam.

**

Sudah dua hari ini Kinal di rawat di rumah sakit. Sebenarnya tidak ada alasan yang begitu kuat kenapa ia harus melakukan rawat inap, setidaknya itu menurut pemikirannya sendiri. Siapa sih yang mau dirawat di rumah sakit terus makan makanan tawar begitu?
“Adoooh.” Kinal mulai rempong kalau sudah tengah hari begini. Pantatnya sudah panas kalau harus duduk sendirian disini. Nyaris 2 x 24! Duduk, tiduran, duduk lagi. 48 jam! 48! 2 hari! Bayangkaaaan!
Makanya sekarang ia sudah berjalan menuju lobi lantai 4. Berdiri di retori pembatas koridor rawat. Lagi-lagi, ia melihat dengan jelas gadis itu duduk di sofa terujung. Sendirian seperti kemarin-kemarin.

“Hai.” Gadis itu mendongak begitu mendapati seorang dengan seragam rumah sakit berdiri dihadapannya. “Err... Boleh... Gabung, gak. Ehm...?”
“Frieska.” Sahutnya pelan.
“Yah, emm. Kenalin, Kinal.” Kinal mengulurkan tangannya, sebenarnya takut juga tidak dibalas. Lah, orangnya aja cuek begini. Arrrgggh, salah cari kenalan!
Tanpa diduga, Frieska menyambut uluran tangan Kinal dengan hangat. Senyum tipis yang begitu memabukkan itu menghapus keraguan Kinal seketika. “Hm. Aku Frieska. Salam kenal, Kinal.”

**

Sudah dua jam sejak kakaknya pergi keluar, katanya sih mau makan siang. Mungkin dia makan siang di neptunus kali, lama banget habisnya. Jenuh juga ‘kan lagi-lagi ditinggal sendirian.
Kinal bangkit dari tidurnya, menyambar iPod dan headset dari nakas. Clek. Ia mendorong pintu. Tepat ketika matanya menyusuri bagian kanan koridor yang berujung di sebuah jendela yang cukup besar. Seseorang berdiri disana, memainkan sebuah origami yang tidak begitu jelas di mata Kinal.

“Frieesssskaaaa. Oy! Oy! Oy! Lagi ngapain?”

Frieska tidak menoleh, ia hanya menghentikan gerakkannya. Membuat Kinal jadi serba-salah sendiri. “Err... ganggu ya? Ganggu banget?”
“Enggak. Cuma kaget doang.”
Kinal pun mengambil tempat di samping Frieska. Ikut menatapi lapangan parkir rumah sakit yang besar. “Udah makan belom?” Kinal lagi-lagi yang membuka percakapan. Gatel juga tau mulut, ada temen ngobrol tapi malah diem-dieman.
“Tuh, belum habis. Bosen sih. Kamu?”

Dahinya otomatis berkerut-kerut, hanya melihat sebuah botol berisikan setengah... emm, sepertinya jus. Ya ampun, sebodoh-bodohnya Kinal dengan sandi rumput atau semapore tapi dia masih mengerti isyarat mata yang melirik itu kan?
“Ikh. Nggak baik lagi sakit bukannya makan nasi. Maag aja nanti.” Kali ini Kinal berusaha sok menasehati. Padahal ia sendiri malas kalau disuruh makan dengan lidah pahit.
Frieska justru tertawa kecil, “Justru karena udah maag. Makanya nggak bisa makan nasi. Harus em... minum eh, makan bubur buah, hahaha.”

“Akut ya?”
“Begitu.” Frieska menyahut dengan mengendikkan bahu tak begitu peduli.
Aroma karbol yang tak persahabat tapi tetap setia menemani mereka sejak beberapa menit lalu. Ini yang paling Kinal benci dari rumah sakit. Apakah aroma bebas kuman memang seperti ini? Uuuh.

“Aku punya origami ini... ada tujuh ratus. Ini yang ke tujuh ratus.”
“Hah? Maksudnya... origami burung kayak gitu? Kamu rajin banget sampe buat tujuh ratus!”
Frieska mengangguk singkat. “Tau mitos seribu burung kertas kan...”

**

Ya, mitos tentang siapa yang mampu membuat seribu burung kertas maka permohonannya akan terwujud. Kinal pernah dengar itu. Lantas apa tujuan Frieska membuat sebegitu banyak burung kertas? Sampai tujuh ratus?

Namun, nyatanya Kinal justru menikmati hari-harinya di rumah sakit sekarang. Membantu Frieska membuat origami burung sesekali. Membiarkan detik-detik membosankan di rumah sakit berganti obrolan ringan tentang pribadi masing-masing. Menikmati tiap waktu yang terajut itu, sampai hari terakhir ia di rawat. Walau sampai kapanpun Kinal tetap tidak akan menikmati makanan rumah sakit yang berasa-sop-garam-doang.
Bersyukur karena ia menemukan teman seperti Frieska yang bisa mengacuhkan jenuh sejenak. Pertemuan sederhana karena bosan sendirian di lobi. Tentu, mereka sama-sama menemukan matahari terbit dan muncul di cakrawala timur sana.

Begitu selesai menyimpul tali sepatunya, ia mengekori Mamanya untuk turun. Menyusuri langkahnya di belakang. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu. Sekali ia menatapi punggung Mamanya yang sudah berbelok. Kinal meraih kenop dan memutarnya.
Seketika ia ada di ruang yang beberapa hari ini disinggahi. Mendapatinya dengan keadaan kosong. Sebentar... suara air dari toilet terdengar begitu kencang. Apa karena ruangan ini sepi?

“Uhuk... Hoeek.”

“Fries...?” Suaranya tertahan, mempertajam telinganya sendiri. “Frieska?” lanjutnya agi setengah heran.

Clek, creek.

“Kinal? Aku di toilet.”
Ia hanya perlu mendorong pelan pitunya kerana sudah tidak perkunci. Mungkin Frieska sedang sibuk di wastafel mebersihkan sesuatu dari mulutnya agar tidak terlihat oleh Kinal. Muntah kan?
Sayangnya, cermin di hadapan Frieska tidak bisa membohongi Kinal. Dengan sempurna ia mengatakannya dengan nyata, sudut-sudut bibir yang berdarah. Muntah... darah? Aduh, buluk kuduk Kinal merinding sendiri jadinya.

“Kamu gak apa-apa?” pertanyaan retorik, basa-basi kelewat basi yang model begini mah!
“Enggak. Gak kenapa-napa kok. Kamu udah mau pulang ya? Ciee udah nggak makan sop garem lagi habis ini!”

Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Bibirnya lebih kering, matanya juga lebih sayu. Ah, bukan. Kinal baru sadar, Frieska memang begini dari awal pertemuan. Seberapa parah sebenarnya penyakit kamu, Fries?
“Seneng bisa ketemu teman kayak kamu buat beberapa hari ini. Jangan sampai sakit lagi ya, kalau nggak mau makan sop garem lagi!”

Frieska menggaruk tengkuknya beberapa kali. Binggung ditatapi Kinal seperti ini. Matanya yang tidak tajam tapi terlihat begitu tegas membuatnya jadi ketar-ketir sendiri.
“Ini... buat kamu.” Kinal mengulurkan sebuah box, dengan jelas ada beberapa burung kertas di dalamnya. “Cuma bisa buat sebelas doang. Jadi sekarang ada berapa?”

**

Ruangan ini nyaris penuh dengan toples-toples kaca yang berjejer rapi di atas rak buku, atau beberapa berderet di meja dekat jendela. Isinya bukan kupu-kupu, atau ikan cupang seperti mainannya waktu SD. Tapi burung-burung kertas, yang disimpan rapi di dalamnya.
Kinal pun milih duduk lesehan di karpet bulat di tengah ruangan bernuansa broken white ini. Kamar Frieska, ya, dia sekarang ada disana. Setelah dua minggu kemarin ia menjengguki Frieska terus-menerus dirumah sakit sampai akhirnya gadis itu diperbolehkan pulang.

“Nih, diminum.”
“Ya ampun, Fries. Air putih doang. Tadi nawarin soda. Atau gak, apa kek gitu yang berwarna, yang ada rasanya.”
“Kasih garem ya?” sahut Fieska sambil menaikkan dua alisnya.
“Garem mulu. Bosen akh, udah hampir sebulanan keluar rumah sakit tau.”
“Yaudah itu aja. Gak baik minum air berwarna.”

Kinal hanya mendengus kecil, walau sebenarnya ia tidak masalah juga dengan air putih, eh air bening, bukan-bukan tapi air mineral. Ia pun merebahkan kepalanya di sofa, menatapi pantulan menyilaukan dari toples-toples kaca.
“Heh, Fries. Emang itu burung kertasnya mau buat apa sih?”
“Ya... buat di kumpulin sampai seribu.”
“Percaya mitos, gitu?”
Kinal dengan jelas melihat Frieska binggung begitu ditanya. Apa sebenarnya Frieska memang tidak memiliki tujuan dengan burung-burung kertas ini?
“Sebenernya...”
Gadis ini bangkit dari sandarannya, duduk sejajar dengan Frieska yang memeluk lututnya. Mengekori gerik sekecil apapun dari ekor mata.

“Sebenernya, aku selalu menumpu tiap harapan di setiap burung kertas. Gitu sih... err, dan nggak setiap waktu juga bikin burung kertas. Cuma... waktu pengen aja. Jadi selama ini, gak ada yang bantuin untuk buat burung kertas itu, selain kamu.”

Selanjutnya terlalu banyak jeda yang tidak bisa dihapuskan dan dibiarkan tetap kosong begitu saja. Tidak ada usaha unuk mencari-cari kata sekedar mematahkan bisu. Kinal diam-diam menikmati sangkar kaca si burung kertas. Harapan-harapan itu terkumpul di dalam kaca yang begitu rentan pecah. Begitu bening.
“Yaudah, aku pulang, ya. Udah jam empat, ada les soalnya.”

Tidak ada elakan atau ucapan selamat tinggal. Frieska hanya berdiri di teras depan dan melambai kepada Kinal. Yang perlahan menjauh dengna mobilnya. Ia pun meraih satu origami dan mulai melipat saat tiba di kamar.

Matahari sudah mau berangkat untuk kepergiannya menyongsong senja sepertinya.

**

Mungkin hari ini tidak ada hujan sama sekali. Tidak juga dengan gerimis yang mengguyur Jakarta sore itu. Tapi suasana pemakaman akan tetap sama sampai kapanpun. Seakan ada naungan awan mendung yang selalu meneteskan gerimis diatasnya.

Hal ini yang membuat Kinal enggan meninggalkan kamarnya. Bahkan seharusnya ia keluar sejak lima jam lalu. Meninggalkan rumahnya sebentar, mengantarkan sebuah kepergian. Sayangnya itu tidak terjadi.
Ia seperti petapa yang tanpa suara mengurung diri di kamar. Mencari wangsit kenapa pertemuannya terlalu singkat. Bertanya-tanya pada udara yang lalu-lalang dikamarnya, sampai akhirnya ia sadar sudah terlalu gila karena menganjak angin berbicara.

Apa Frieska tidak bosan makan-makanan rumah sakit, tidak bosan dengan makanan lembek?

Kenapa burung-burung kertas itu di letakkan di toples kaca? Bukankah ada kotak, kardus, atau laci?

Dari kapan burung-burung kertas itu dibuat? Sudah ada berapa ratus sejak terakhir kali?

Harapan apa yang terakhir kali Frieska buat, ya? Apa harapan itu adalah burung kertas yang keseribu?

Kinal menghembuskan nafas panjang. Akhirnya beranjak dari ranjang setelah lima jam lalu ia berlari ke kamar dan menguncinya. Meraih laci teratas meja belajarnya, mengambil kertas persegi. Origami berwarna hitam.

Sama kayak kamu, Fries. Ini harapan.

Burung kertasnya dibiarkan ada di tengah meja belajar. Ditatapi dengan seksama. Jari-jarinya mencari box prakaryannya kelas X kemarin, seharusnya ada tali kur disana, yang warnanya putih bening. Ah! Benar saja, masih ada.
Kinal berjalan ke arah jendela kamar yang menghadap pekarangan depan rumahnya. Mencari celah untuk bisa menyelipkan tali di jendela. Membiarkan burung kertas itu bergelayut di tiup angin sore, angin-angin senja.

Ia kembali ke kursi meja belajar, tapi memutar posisi kurisnya hingga bisa menatap jendela dengan jelas. Warna hitam kertas yang membuat burung itu seperti siluet di mata Kinal. Siluet burung yang terbang di ujung jendelanya.

Harapan itu terbang bebas –seperti kelihatannya- di pundak kecil burung kertas. Menikmati terpaan kebebasan angin dunia. Harapannya akan terbang jauh, Fries. Mengarungi langit yang begitu luas, menyebrangi samudra tanpa ujung, dan selalu menemui paginya tiap kali matahari terbit.

Satu burung kertasku membawa seribu harapan kamu yang terkukung di toples kaca. Burung kecil ini, satu burung kecil ini. Yang sebenarnya seribu burung kertas, seribu harapan kamu.

**

Finally! (~^-^)~~(^-^)~~(^-^~) yeyeye berhubung menulis itu adalah pemuas batin, gak tau itu cerita bagus apa kagak, ada yang baca apa enggak, yang penting cerita ini kelar yeeaaay! Cek juga yang disini ya! Bukan Pertanyaan Aku Tidak Melihat Matahari Senja
@AgilHape