Sabtu, 25 Juni 2011

Percayalah Kepadaku

Yang aku tahu, kau adalah gadis dengan senyum. Gadis ceria yang membawa hangat suasana.
Aku tahu kau begitu menyayanginya. Tapi aku mohon, jangan menagis lagi. Karena aku tidak ingin melihatmu serapuh ini.
Kau boleh tanyakan kepadaku apa itu kehilangan. Karena aku sudah merasakannya jauh sebelummu.
Tapi, aku mohon, jangan tanya aku apa itu kematian.
******
Yang aku tahu, kau adalah gadis dengan senyum. Gadis ceria yang membawa hangat suasana.
**
Aku menarik dasi itu dan tersenyum sendiri. Menatapi bayangan maya lain di sisi datar cermin itu. Menatapi refleksi sempurna di dalamnya. Setelahnya aku segera turun, meraih sepotong roti dengan selai coklat-kacang seperti biasanya, aku segera melesat menuju halte di depan kompleks.
Aku bisa melihatnya sedang melipat kedua tangan tepat di depan dada. Aku rasa dia kesal karena aku tidak menepati waktu. Mungkin saja, lagi pula aku memang selalu berangkat pukul 06.15
“Ngaret banget lo ya!” seru Nadia saat itu. Jika kalian ada di tempat ini, pasti kalian akan tertawa melihat wajah juteknya itu terlipat puluhan kali.
“Kan produksi karet di Jakarta lagi tren. Makanya update!”
Bayangkan sendirilah apa yang sekarang dia lakukan. Kalian mau Nadia melakukan apa saat ini? Memukul pundakku? Memantapku tajam? Atau mencubit lengan kananku?
Jika itu yang kalian harapkan, maka nol besar yang akan aku berikan. Dia justru membalas kalimatku dengan kalimat konyol lainnya, “Kata siapa? Pak Bono aja nggak pernah update, kenapa juga gue update?”
“Tau ah. Entar gue pasangin Avir deh otak lo. Biar nggak error gara-gara virus.”
“Avir udah nggak mempan gue tuh pakenya... eh... Farhan!” Aku langsung menarik tangannya sebelum kalimat itu terselesaikan dengan sempurna. Karena Bus yang menuju sekolah kami berhenti tepat di depan mata.
“Lo santai bisa nggak? Jangan tarik-tarik.” Ujar Nadia kasar sambil menepis tanganku. “Eh tungguin dong!” seru Nadia.
Aku sudah menyeruak diantara orang-orang yang berdiri. Berharap ada kursi yang tersisa di dalam bus sekolah itu. Dan yup! Di bagian paling belakang, masih ada satu bangku sebelum... “Gue duluan!”
“Ah. Rusuh lo, Nad. Gue duluan juga itu yang liat.” Gerutuku yang lalu meraih tiang di sekitar pintu belakang.
“Siapa cepat dia dapat. Nggak pake protes.”
**
Aku tahu kau begitu menyayanginya. Tapi aku mohon, jangan menagis lagi. Karena aku tidak ingin melihatmu serapuh ini.
**
Aku berjalan perlahan menuju rumah itu. Suasanya masih sunyi dan mencekam. Orang-orang masih berlalu-lalang dengan pakaian hitam. Isakan tangis masih terdengar.
Aku memasuki ruang tengah, tidak ada gadis itu. “Tante. Nadia... mana?” tanyaku pada Mama Nadia yang sedang tertunduk di dekat pintu masuk.
“Ada di kamar. Kamu coba hibur dia ya?”
Aku mengangguk, berjalan menuju kamar yang terletak di lantai dua itu. Menapaki satu persatu anak tangga. Merasakan aura yang sama seperti saat itu. Rasa sesak itu menjalar seketika. Menusuk dan menghantamku. Aku... tidak suka kematian.
“Nad... Gue masuk ya?” ujarku sebelum mengetuk pintu jati itu.
Tidak ada suara sama sekali. Dan aku pun menerobos masuk. Mendapati ruangan bernuansa hijau itu begitu sepi. “Nad...”
“Ja..ngan..kes...si..ni...”
Dari suara itu. Aku tahu, dia pasti sedang berada di ujung ruang ini. Di balik tirai yang membatasi ranjang dan ruang belajarnya. “Lo... nangis...?”
“Bego. Emang gue lagi ketawa?” ujar Nadia ketus.
Aku tertawa kecil dan berhenti setelah Nadia menatapku tajam seperti itu. “Udah, Nad. Jangna nangis dong. Jelek tau.”
“Emang gue jelek.”
“Orang elo ca...” cantik. Aku menelan kata-kataku sendiri. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Kenapa aku harus berbicara seperti itu. “Udah, jangan nangis lagi.”
Nadia terisak dan memutar kursi belajarnya itu. Menghadapku, menatap mataku dalam dan tersenyum tipis –aku rasa itu sangat terpaksa. “Lo.. nggak pernah ngerasain kehilangan kakak, sih.” Selanjutnya, wajah itu secara perlahan turun.
Aku menarik wajahnya dengan telunjukku, “Gue... juga tau gimana rasanya. Dan gue nggak mau lo nangis kayak gini.”
“Lo nggak pernah ngerasain, Han.” Sargah Nadia yang langsung menepis telunjukku.
Gadis ini... bodoh atau tuli. Tidak taukan arti kata ‘gimana rasanya’ yang seharusnya di definisikan ‘pernah mengalami’ bukan sekedar penghibur belaka. Ayolah Nadia...
“Yaudah. Tapi jangan nangis lagi ya...?”
Dia menunduk dan terisak lagi. Kedua telapak tangannya meraba pipinya, mengusap buliran air mata yang bahkan sudah sangat lelah untuk di produksi.
“Entar gue beliin coklat deh.” Bujukku lagi. Berharap ia berhenti menangis dan tersenyum tipis.
Dan itu nihil. Dia tertawa hampa. “LO PIKIR, lo bisa nyamain KAKAK gue sama COKLAT? Iya?”
Aku menghela napas panjang sekilas. Berharap partikel itu membawa cukup oksigen untuk memberi kekuatan untuk menghadapi gadis ini. “Nad... Kak Adit...”
“DIEM!” serunya lagi. Kali ini air mata itu turun dengna derasnya, tanpa suara. Hanya air mata yang merambat turun dan akhirnya jatuh ke lantai.
Apa yang aku harus lakukan? Memberikan semangat? Memberikan waktu untuk sendiri? Atau memeluknya dan menyusap punggunya?
Aku mengangkat kedua tanganku, kujatuhkan tepat di kedua bahunya. Gadis itu sedikit tersentak dan menatapku. Kutatap dalam matanya, membiarkan sejenak agar napasnya teratur. “Adit itu, Cuma butuh waktu buat kehidupan selanjutnya.”
**
Kau boleh tanyakan kepadaku apa itu kehilangan. Karena aku sudah merasakannya jauh sebelummu.
Tapi, aku mohon, jangan tanya aku apa itu kematian.
**
Ini sudah hari ke tujuh sejak kepergian Adit.
Adit? Iya, Adit adalah saudara satu-satunya yang dimiliki Nadia. Kakak terbaik yang ia anggap sebagai orang terhebat di dunia ini. Ia sudah –saat ia masih hidup- menginjak usia –yang menurutku sudah cukup dewasa- 16 tahun. Ia bersekolah di sebuah sekolah IT di kawasan Jakarta Timur.
“Han. Entar lo ke rumah gue ya? Habis les tapi. Gue mau nanya soal mtk.” Ujar Nadia yang lalu berpisah di pertigaan blok D.
Aku dan Nadia, satu kompleks berbeda blok –aku di blok F dan Nadia di Blok D. Satu SD dan satu SMP. Kami bukanlah sahabat yang menjadi sempurna karenanya. Kami hanya saling bertukar ilmu dan membiarkan masing-masing pribadi berkembang. Dan jika kalian bertanya seberapa sering kami bercerita tentang keidupan satu sama lain, mungkin hanya 20% dari obrolan kami sepanjang hari.

“Sepi banget ya, Han.” Ujar Nadia saat aku berusaha untuk menyelesaikan soal tentang juring laknat ini.
Aku berhenti menulis, “Udah, nggak usah di bahas.” Aku tahu, dia pasti akan membahas lagi tentang Adit. Menangis lagi.
“Gue belum siap kehilangan dia...”
Benarkan? Ia sudah mulai menunduk dan memutar-mutar pensilnya. “Nad... ditinggal sama orang yang kita sayang emang berat...” aku melirih sendiri. Membiarkan proyektor berkarat dalam otakku memutar lagi film abu-abu itu.
“Tapi... yang lebih berat lagi... kita ngejalin semuanya kayak biasa tanpa orang itu...” aku berhenti, membiarkan gadis ini mencerna kata-kataku. “Percaya sama gue...”
Dia menengadahkan kepalanya, menyusap kelopak mata bagian bawah. “Gue...” tanpa ada yang jelas selanjutnya, ia menangis.
“Udah... cengeng banget lo...” ejekku sekilas. Ia langsung tersenyum masam. “Jelek.”
Nadia membuang pandangannya, “Menurut lo... Kak Adit gimana ya sekarang?” Nadia menatapku sendu.
Aku menghela napas, menatap mata gadis itu dan menerawang. Apa yang akan dilakukan orang yang sudah meninggal?
“Dia sekarang ada dimana?”
Dimana? Yang jelas bukan Surga atau neraka –karena ini belum akhir dunia. Jadi, dimana orang-orang itu?
“Gue nggak tau. Yang jelas... dia nggak suka lo nangis.”
**
Aku terlalu lelah untuk mengenang. Aku terlalu letih untuk menyimpan.
Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan. Akan cerita masa lalu.
**
“Ayolah, Han. Temenin aku ke sana... ya?”
Itu kalimat peermohonan terakhir yang aku dengar darinya. Dari seseorang yang 5 tahun lebih tua dariku. Merengek denganku.
“Nanti... Mama marah kalo kita pulang kesorean.”
Saat itu, mulut-mulut kecilku bergerak begitu saja. Mengucapkan serangkaian penolakkan karena alasan waktu. Percayalah, aku benar-benar ingin mengikutinya saat itu.
“Kita di sini itu tinggal 2 hari lagi. Dan kita belum sekali pun ke sana.” Dia merengek sekali lagi di hadapanku. Menarik tanganku –menyeret lebih tepatnya.
Sore itu, sebenarnya kami sedang berada di daerah dingin –jangan tanyakan aku apa namanya, karena bagiku itu adalah tempat tersuram yang pernah aku datangi. Kami sekeluarga berlibur di sana sejak sepekan lalu.
“Aku nggak mau, Kak. Aku di sini aja.”
Anak laki-laki itu pun melepaskan tanganku kasar, menantapku bengal dan memukul pundakku. “Ah.”
Ia pun berlari menuju turunan terjal berbatu itu, menuju sungai yang terletak di bawah sana. “Jangan bilang sama Mama kal...”
Saat itu, dengan bodohnya aku hanya berdiri menatapi Kakakku terperosok diantara bebatuan besar itu. Yang akhirnya jatuh kedalam sungai. Aku masih melihat tangannya melambai-lambai. Meneriaki namaku dan Mama.
Tersadar, itu yang terjadi padaku beberapa detik setelahnya. Berlari menuju Villa sambil berteriak-teriak panik. Di depan pintu, aku menarik Mama tanpa mengatakan apa-apa. “Kamu kenapa nangis, Han?”
Tibalah kami di sana. Tempat yang bahkan tak pernah lagi ku kujungi. “Kenapa?”
“Kak Aris. Di sana. Tadi..” tanpa sadar air mataku turun begitu saja. “Kak Aris... jatuh...” isakku.
**
Farris.
Pemuda yang hingga kini tak benar-benar aku kenal. Aku hanya hidup bersamanya selama 5 tahun. Bahkan, aku tidak mengingat secara jelas apa-apa yang ia suka. Yang aku masih ingat hingga kini, kakakku itu sangat menyukai bersepeda. Hanya itu.
Andai aku tidak membiarkannya pergi sendiri ke sungai laknat itu. Andai aku berlari lebih cepat menuju Villa. Aku pasti masih bersamanya sekarang.
Membiacarakan tentang bola, atlet favorite, kartun, anime, musik, bermain bola, basket. Sekarang, apa yang terjadi? Hanya memory indah antara dua anak kecil yang saling berlarian di lapangan. Mengayuh pedal sepeda memutari kompleks. Bermain layang-layang hingga sore, mengadunya satu sama lain. Bertukar botol air dan bekal. Hanya itu... sesederhana itu.
**
Jika memang ada yang berbeda, katakanlah. Aku disini, bersamamu dan akan selalu seperti itu. Mendegarkan setiap kata dari bibirmu.
**
Nadia. Gadis itu hanya duduk di koridor dengan beberapa anak-anak perempuan. Bercengkrama satu sama lain. Ia tertawa, tapi, yang aku lihat, ia tidaklah memiliki tawa selepas dulu. Dan ia pun sudah kehilangan sense of humor yang menjadi andalannya itu.
**
“Dan kau lilin-lilin kecil, Sanggupkah kau mengganti, Sanggupkah kau memberi,
Seberkas cahaya”
Aku mulai memainkan jari-jariku di kotak-kotak kayu itu. Berpindah dari nada satu ke yang lain. Memetik senar-senar dengan alunannya. Membiarkan aku terus mengirinya bernyanyi.
“Udah ah. Capek.” Belum juga lagu itu selesai, Nadia sudah memotongnya dan menyenderkan kepalanya di tembok.
“Eh, belum bel kan, ya?” tanya Arvin kepada siapa saja di dalam kelas ini. Sebenarnya sih hanya ada aku dan Nadia.
“He’eh. Mau ke kantin lo?”
“Yoi.” Dia pun langsung berlalu menuju kantin di belakang gedung ini.
“Itu siapa, Han?” tany Nadia.
Oh iya, Nadia kan kemarin Rabu tidak masuk, mana munkgin mengenal anak baru di kelas kami itu. “Arvin. Anak 101.”
Nadia hanya menggauk sekilas, “Hayoo...” aku langsung menatapnya menyelidik. Kilatan barusan. Berbeda.
“Apa sih?” elak Nadia yang langsung berkutat dengan ponselnya.

Bel berbunyi. Anak-anak di kelas ini sudah mulai gaduh, “WOI! BARENG BALIK GUE DONG!” “NEBENG OI!” “PENSIL GUE MANA?”
“Balik Han.” Nadia segera berdiri di hadapanku. Aku segera memasukkan alat tulis ke dalam tas.
Baru saja kami tiba di depan pintu, Arvin sudah menghadang. “Lo mau balikkan? Arah mana? Arah Griya nggak?”
“He’eh.” Jawab Nadia seadanya. Karena memang itu tuju kami setiap hari, Griya Indah adalah nama komplek yang sembilan tahun belakangan aku tempati.
“Oke deh!”
Dan kami bertiga pun berjalan menuju sebrang, menunggu bus sekolah jurusan Griya. “Eh, lo berdua itu anak mana?”
“Anak 11 tau nggak?”
“Oh, yang di deket lapangan itu kan? Belakang kantor polisi?”
“Wuidih. Sekolah kita eksis juga yang ternyata? Keren banget...” puji Nadia girang sendiri. Dasar.
Arvin mengangkat alisnya, “Ah. Kalo yang nggak tau sih, itu nggak pada update aja.” Imbuh Arvin.
“Nah, ini nih, si Nadia kan nggak pernah update, Vin. Orang error mulu,” kali ini aku mengambil andil sambil menunjuk tersangka dengan telunjukku.
“Nyeh. Apa deh, lo ikut ekskul apa Vin? Katanya di sana ada pramuka sama grafis kan?”
Arvin mengangguk antusias, “Gue sih ikut karate aja. Gue nggak betah diem sih.”
“Lo berdua?”
“Gue sih, Perkusi. Hehehe... Seru tuh.” Jawabku.
“Kalo gue ikut ansambel gitar. Padus nggak terima anggota pas kelas 9 sih.” Ujar Nadia dengan wajah yang benar-benar kesal.
Kita pun saling mengakrabkan diri satu sama lain. Membicarakan segala hal yang bisa di bicarakan. Bahkan,sampai nilai-nilai terburuk yang pernah kami dapat.
Arvin, pemuda itu terlihat begitu ceria. Dan... bisa merubah lagi Nadia yang berubah beberapa saat lalu itu.
“Nad, lo ada apa-apa sama Arvin ya!” tuduhku saat itu juga.
“Apa sih? Ngaco banget omongannya.” Nada biacara sudah lagi seperti biasa. Ketus. Secepat itu kah perubahannya?
“Lo... suka sama Arvin, kan?”
**
Percayalah, aku akan selalu ada di sisimu. Menjaga setiap napasmu. Tanpa melewati satu pun desahanmu.
Percayalah, aku selalu ingin menjadi pundakmu. Dan yang harus kau tau, aku menyayangimu.
**
Aku berguling ke kiri saat ponselku berdering pelan. Hanya sebuah pesan singkat darinya. Cepet Seperti itulah isinya. Singkat, tapi cukup untuk megatakan bahwa ia sudah menunggu.
Kuraih jaket coklatku dan segera keluar rumah. Berjalan menuju rumahnya yang terletak di dekat kantor satpam itu.

“Nad. Di bawah aja yuk!” ajakku sambil membereskan beberapa buku. “Di sini panas, AC pake acara nggak di nyalain.”
Gadis itu berdecak, “Dingin tau, hujan gini juga.” Lantas, ia juga mengulurkan tangannya.
Lalu, setelah tiba di ruang tengah, kami pun kembali menekuni soal-sola itu. Mencerna setiap kalimatnya. “Eh, Hukum Snellius itu apa deh? Pelajaran kelas berapa sih ini?”
“Hukum yang dicermin-cermin itu bukan sih? Kayaknya iya deh. Coba cari, atau lensa? Pembiasa? Pokoknya kelas 8.”
“Ah, gue-gue juga yang nyari.”
Aku menatapi setiap lekuknya. Melihat bingkai wajah itu sudah mulai dewasa. Gadis ini benar-benar berbeda dari gadis berumur 6 tahun itu. Matanya pun kini sudah harus menggunakan alat bantu untuk membaca.
“FARHAN!” serunya. Aku langsung terlonjak menatapi wajahnya sedekat itu. “Lo dengerin gue ngomong nggak sih?”
Aku hanya mengangguk. Iya kan saja daripada nanti ia marah. Sebentar... apa dia sadar bahwa sejak tadi aku memperhatikannya.
“Boong banget.”
Aku kembali teridam. Dan ia juga begitu. Lama. Tanpa aku tau sudah berapa waktu yang terhabiskan. Membiarkan gesekkan tinta dan kertas menjadi musik tersendiri. Sampai aku merasa gesekan itu berhenti. Lama dan akhirnya ada yang bersuara.
“Han, Kematian itu apa...?”
“Gue nggak tau Nadia. Udah jangan ngomongin itu lagi. Entar lo nangis lagi.” Sargahku cepat.
Aku pun kembali lagi kepada soal fisika yang sudah membuat sebagian otakku berdenyut itu. “Nad...?” aku menyerukan namanya. Karena sejak tadi ia tidak segera mengerjakan soal-soal itu.
“Lo... nggak kemana-mana kan, Han?” nadanya terlihat ebgitu khawatir. “Gue... nggak mau di tinggalin lebih banyak lagi.” Dia kembali menunduk.
Aku... merasakan ada sesuatu yang aneh. Di dalam dadaku. Bergejolak. Sesak.
**
Aku hanya menyayangimu. Tanpa pernah berpikir untuk memilikimu. Karena aku yakin,ini bukanlah saatnya. Atau... memang tidak ada saatnya.
**
“Lo... suka Arvin kan?” aku menanti bibir itu terbuka. Melontarkan sebuah jawaban. Aku benar-benar menantinya, menunggu.
“Gue... juga nggak tau.”
Jangan berkata seperti itu, ayolah Nadia. Gadis ini justru semakin membuat getaran aneh semakin menjadi. “Iya deh.”
Aha.
Memang di sini stasiun pemberhentian perasaan kagum. Atau lebih tepatnya... rasa suka?
Bahkan, gadis ini tidak menyadari segalanya sudah berubah saat kami mulai menggunakan seragam putih-biru. Apakah ia tidak pernah bisa membacanya? Bukankah ia sering menatap mataku? Bukankah cinta itu datang dari mata yagn menjalar ke hati? Lantas... apa?
Tapi sudahlah. Ini hanya sebuah permainan anak kecil tentang perasaan. Tentang mereka yang selalu mempermainkan kata ‘suka’ ‘cinta’ ‘sayang’ hanya untuk kesenangan belaka. Aku yakin, aku juga seperti itu.
**
Tanyakanlah kepadaku apa yang ingin kau tanyakan. Aku rasa, sekarag aku sudah bisa menjawab semuanya.
**
“Kenapa lo... harus ninggalin gue juga?”
Karena ini memang sudah saatnya aku untuk pergi. Melepaskan segalanya. Meniggalkan masa lalu, rasa sayangku terhadapmu, dan segalanya yang sering kau lakukan.
“Han... Gue... nggak mau sendiri...”
Nad, aku juga tidak pernah berniat untuk meninggalkanmu. Aku tidak pernah ingin melepasmu. Aku juga ingin terus bersamamu. Menjalaninya.
“Siapa yang bakalan gue tungguin kalo berangkat?”
Aku. Kau hanya akan selalu menungguku. Selalu.
Kau menyeka air matanya dan menutup jendela. Angin diluar bertiup kencang. Dan aku rasa, kau selalu membenci dingin. Ya kan?
“Kenapa semua orang harus meninggal. Atau mungkin, kenapa tuhan harus ngambil kalian lebih cepet dari gue.”
Jangan pertanyakan itu. Karena pada dasarnya, manusia sudah memiliki waktunya masing-masing. Dan waktuku sangat indah. Sama seperti saat aku kecil, aku bermain bersama Aris, lantas saat aku beranjak remaja, aku bersamamu.
“Emang, lo semua nyaman ada di sana?”
Sangat nyaman. Karena... di sini, adalah tempat abadi. Tempat dimana nanti kita diadili. Tempat sejati yang takkan pernah mati.
“Kematian... itu apa?” pertanyaan itu. Pertanyaan yang sama saat hari kematianku. Hari dimana aku harus terjatuh dari tangga –teras- rumahmu.
Kematian itu... hal yang abadi, hal tanpa batas, tanpa ada yang menghalangi. Dan mereka yang sudah merasakannya tidak ingin kembali. Atau lebih tepatnya memang tidak bisa kembali. Percayalah, aku nyaman berada di tempat ini.
Dan... aku sekarang tau apa yang di rasakan oleh Aris atau pun Adit –mereka pun pergi juga karena kecelakaan- saat itu, saat semuanya megnhampiri dan datang, rasanya menyeramkan, gelap, sesak, dingin. Percayalah... itu semuanya dilakukan dengan proses yang menyakitkan.
Tapi tidak untuk setelahnya.
“Yang gue tau sih, segalanya di alami dengan rasa sakit yang banget-banget. Tapi, habis itu ya, mereka pasti seneng banget ada di tempat abadi yang indah kayak gitu, percaya sama gue, Nad.”
Suara itu. Aku tau sekarang siapa yang akan menemanimu disisa waktumu. Arvin. Ya, kau menyukainya. Semoga saja... kau dan dia... ada dalam satu garis bahagia tanpa fana. Tidak seperti kau dan aku.
Percayalah, kau akan bahagia bersamanya, melebihi kebahagianmu bersamaku.
“Udah, jangan nangis lagi.” Arvin langsung saja mengambil posisi duduk. “Farhan... pasti tenang di sana.”
Ini yang sebenarnya aku tunggu. Sejak saat pertama kita bertemu. “Gue, sayang lo, Han. Lebih dair gue ke alvin, dengan rasa yang sama.”
***
Sekedar cerpen yang udah lama banget ada di folder, setelah editing sedikit, post deh, Sorry kalo rada-rada nggak jelas dan aneh, i just try to make a short story :)