Senin, 26 Desember 2011

Membuat File .pdf Dengan Mudah


Lagi iseng dan nggak sengaja menemukan sesuatu yang simpel. hihihi XD yuk mari liat caranya :
 
Pertama kalian membuka dokumen yang ingin kalian buat menjadi .pdf melalui microsft word atau mungkin mengeitk terlebih dahulu di sana.

Setelahnya, kalian bisa men-save as (jika file sudah di save). Maka akan ada jendela save as.
Dan…. Savelah sudah.
Hasilnya tilik di bawah ini (halah)


Koperasi Indonesia


Koperasi

1.      Sejarah Koperasi Indonesia
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan landasan serta prinsip koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat. Yang di perkenalkan oleh Raden Wirjaatmadja. Bekerjasama dengan E. Sieburg, R. Aria Wirjaatmadja  untuk mendirikan Bank Penolong dan Tabungan (Hulp en Spaarbank). Yang kemudian diikuti oleh Budi Utomo dan Serikat Dagang Indonesia (SDI).
Pada tanggal 12 Juli 1947 diadakan kongres koperasi pertama di Tasikmalaya, Jawa Barat. Dan hari itu di tetapkan sebagai hari koperasi dan Drs. Moh. Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

2.   Landasan, Asas, dan Tujuan Koperasi Indonesia


a. Landasan Koperasi Indonesia
o   Landasan Idiil yaitu, Pancasila.
o   Landasan Struktural yaitu, UUD 1945 Pasal 33 Ayat (1).
o   Landasan Mental yaitu, setia kawan serta kesadaran pribadi.

b. Asas Koperasi Indonesia
o   Asas Kekeluargaan memiliki makna kesadaran dalam hati nurani setiap anggotanya untuk memajukan koperasi.
o   Asas Gotong Royong adalah dalam koperasi harus ada keinsafan dan kesadaran, semangat bekerja sama, dan tanggung jawab bersama.

c. Tujuan Koperasi Indonesia
o   Memajukan dan meningkatkan kesejahteraan anggotanya serta masyarakat umum.
o   Membangun tatanan perekonomian nasional.





3.   Prinsip Koperasi Indonesia


o   Keanggotaannya sukarela dan terbuka.
o   Pengelola dilakukan secara demokratis.
o   Pembagian sisa hasil usaha berdasarkan jasa anggota.
o   Pemberian balas jasa terbatas terhadap modal.
o   Kemandirian.
o   Pendidikan perkoperasian.
o   Kerjasama antar koperasi.



4.   Fungsi dan Peran Koperasi Indonesia
Menurut UU No. 25 Tahun 1992 Bab III Pasal 4 :
o   Membangun dan mengambangkan potensi serta kemampuan ekonomi dan social anggota dan masyarakat umum.
o   Berperan aktif dalam mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.
o   Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional, dan koperasi sebagai sokogurunya.
o   Mewujudkan dan mengambangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.

5.   Keanggotaan Koperasi Indonesia
a.   Syarat-Syarat Keanggotaan Koperasi


Pertama, mampu melakukan tindakan hukum. Lalu Dapat menerima landasan koperasi. Serta sanggup dan bersedia memenuhi kewajiban dan hak yang tercantum dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah angga (ART).

b.   Hak-Hak Anggota Koperasi
  • Menghadiri, berpendapat, dan memberi suara dalam rapat.
  • Memilih dan dipilih menjadi pengurus atau pengawas.
  • Meminta diadakan rapat anggota menurut ketentuan AD.
  • Mengemukakan pendapat kepada pengurus diluar rapat anggota, diminta ataupun tidak.
  • Memanfaatkan dan mendapatkan pelayanan yang sama.
  • Mendapat keterangan mengenai perkembangan koperasi meneurut ketetuan AD.

c.   Kewajiban Anggota
Diantaranya mematuhi AD, ART serta keputusan rapat lainnya. Berpartisipasi dalam kegiatan yang diselenggarakan koperasi. Dan mengembangkan dan memelihara kebersamaan

6.   Sumber Modal Koperasi
a.   Modal Sendiri
1)       Simpanan pokok, yaitu simpaan yang harus dibayar saat masuk menjadi anggota koperasi dan tidak dapat diambil. Setiap anggota membayar dengan harga sama.
2)       Simpanan wajib, yaitu simpanan yang harus dibayar secara berkala dalam waktu tertentu dan tidak dapat diambil selama menjadi anggota.
3)       Dana cadangan, yaitu uang dari penyisihan sisa hasil usaha, untuk modal sendiri, pembagian kepada mantan anggota koperasi, menutup kerugian bila diperlukan.
4)       Hibah, yaitu sejumlah uang / modal yang di nilai dengan uang diterima dari pihak lain bersifat hibah atau pemberian tidak mengikat.

b.   Modal Pinjaman
1)       Anggota dan calon anggota
2)       Koperasi lainnya dan atau anggota berdasarkan kerja sama antar koperasi.

7. Jenis-Jenis Koperasi
a.   Berdasarkan Tingkatannya
1)       Koperasi primer, beranggotakan orang perorangan
2)      Koperasi sekunder, beranggotakan koperasi primer. Dapat dibentuk dengan menggabung tiga koperasi primer sejenis. Dapat berupa pusat koperasi, gabungan koperasi dan induk koperasi.
a)       Pusat koperasi, beranggotakan beberapa koperasi sejenis.
b)       Gabungan koperasi, beranggotakan beberapa pusat koperasi sejenis.
c)       Induk koperasi, beranggotakan beberapa gabungan koperasi sejenis

b.       Berdasarkan Sifat Usahanya
1)       Koperasi konsumsi, menjual kebutuhan hidup sehari-hari anggotanya.
2)       Koperasi kredit/simpan pinjam, menghimpun dana anggota dan meminjamkan ke anggota.
3)       Koperasi produksi, yang menghasilkan sejenis barang secara bersama-sama.
4)       Koperasi pemasaran, menjalankan kegiatan penjualan barang jasa para anggotanya.
5)       Koperasi jasa, menyediakan pelayanan jasa para anggotanya.
6)       Koperasi serba usaha, bergerak dalam bidang usaha.

c.       Berdasarkan Lingkungannya
1)       Koperasi fungsional, terdiri atas pegawai-pegawai instansi atau kantor tertentu.
2)       Koperasi Unit Desa (KUD), berada di wilayah tertentu, dengan sektor usaha mengutamakan pertanian atau perkebunan.
3)       Koperasi sekolah, didirikan para siswa pada suatu sekolah dan latihan perkoperasian.

d.       Berdasarkan Jumlah Bidang Usahanya
1)       Koperasi single purpose, bergerak di satu bidang usaha
2)       Koperasi multi purpose, bergerak dalam beberapa bidang usaha


***
Update setelah lama nggak update, cihuuy! libur-libur refresh bentaran boleh, mana bentar lagi UN lagi *curcol oke-oke santai bae mbak
Dadaaaaaaah

Puisi Sapardi Djoko Damono

AKU TENGAH MENANTIMU
Sapardi Djoko Damono

aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas

awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
kudengar berulang suara gelombang udara memecah
nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah

telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak sepi
ditengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun menanti
barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama


GARIS
Sapardi Djoko Damono

menyayat garis-garis hitam
atas warna keemasan; di musim apa
Kita mesti berpisah tanpa
membungkukkan selamat jalan?

sewaktu cahaya tertoreh
ruang hening oleh bisik pisau; Dikau-kah
debu, bianglala itu,
kabut diriku?


LAYANG-LAYANG
Sapardi Djoko Damono

Layang-layang barulah layang-layang jika ada angin
memainkannya. Sementara terikat pada benang panjang,
ia tak boleh diam — menggeleng ke kiri ke kanan,
menukik,
menyambar, atau menghindar dari layang-layang lain.

Sejak membuatnya dari kertas tipis dan potongan
bambu, anak-anak itu telah menjanjikan pertemuannya dengan
angin.
“Kita akan panggil angin Barat, bukan badai atau petir.
Kita akan minta kambing mengembik, kuda meringkik,

dan sapi melenguh agar angin meniupkan gerak-gerikmu,
mengatur tegang-kendurnya benang itu.” Sejak itu
ia tak habis-habisnya mengagumi angin, terutama ketika
siang
melandai dan aroma sore tercium di atas kota kecil itu.

Dari angkasa disaksikannya kelak-kelok anak sungai,
pohon-pohon jambu, asam jawa, bunga sepatu, lamtara,
gang-gang kecil, orang-orang menimba di sumur tua,
dan satu-dua sepeda melintas di jalan raya.

Ia suka gemas pada angin. Ia telah menghayati sentuhan,
terpaan, dan bantingannya; mungkin itu tanda
bahwa ia telah mencintainya. Ia barulah layang-layang
jika
melayang, meski tak berhak membayangkan wajah angin.


SAJAK
Sapardi Djoko Damono

“Biar kunyalakan lampu, agar tampak jelas
di mana pintu, tempat aku bebas keluar masuk.
Aku laki-laki, kau tahu, tak tentram dalam gelap.”

Perempuan itu diam; mungkin ia lebih suka
menebak-nebak saja apakah yang nafasnya sengit
dan keringatnya anyir itu Arjuna atau Rahwana.


SAJAK-SAJAK KECIL TENTANG CINTA
Sapardi Djoko Damono

/1/
mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat

/2/
mencintai cakrawala
harus menebas jarak

/3/
mencintai-Mu
harus menjelma aku


IA TAK PERNAH
Sapardi Djoko Damono

ia tak pernah berjanji kepada pohon
untuk menerjemahkan burung
menjadi api

ia tak pernah berjanji kepada burung
untuk menyihir api
menjadi pohon

ia tidak pernah berjanji kepada api
untuk mengembalikan pohon
kepada burung


HUJAN BULAN JUNI
Sapardi Djoko Damono

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu


AKU INGIN
Sapardi Djoko Damono

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat di ucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada


YANG PALING MENAKJUBKAN
Sapardi Djoko Damono

Yang paling menakjubkan di dunia yang fana ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita bisa membayangkan apa saja tentangnya,
menjadikannya muara bagi segala yang luar biasa.

Kita bisa membayangkannya sebagai jantung
yang letih, yang dindingnya berlemak,
yang memompa sel-el darah agar bisa menerobos
urat-urat yang sempit, yang tak lagi lentuk.

Kita bisa membayangkannya sebagai bola mata
yang tiba-tiba tak mampu membaca aksara
di dinding kamar periksa seorang dokter
ketika ditanya, “Apa yang Tuan lihat di sana?”

Kita bisa membayangkannya sebagai lidah
yang tiba-tiba dipaksa menjulur agar bisa diperiksa
apakah kemarin, atau tahun lalu, entah kapan
pernah mengucapkan suatu dosa, entah apa.

Sungguh, yang paling menakjubkan di dunia kita ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita boleh menyebut apa pun yang kita suka tentangnya
sementara orang berhak juga menganggap kita gila.


PADA SUATU HARI NANTI
Sapardi Djoko Damono


pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari

[ ][ ][ ]***[ ][ ][ ]

Senin, 26 September 2011

No Title (Cause I don't Understand)

Bodoh, kenapa harus lagu itu yang menyusup ke pendengaranku. Menyelinap dan memberikan rasa ngilu dan tertohok yang terlalu dalam?
Persetan!
Aku menundukkan kepalaku di atas meja. Berusaha untuk tidak mendengar nada-nada yang masih terus berputar di dalam ruangan itu.
Tidak ingin… mendengar.


**
Aku hanya berdiri di sisi yang sama. Masih seperti kala itu, kala di mana aku mulai menyadari ada sesuatu yang berubah.
Antara aku.
Dan kau.
Entahlah, aku tidak perduli dengan apa yang aku rasakan. Aku hanya ingin hidup seperti air yang mengalir. Dari tempat yang tinggi, ke tempat yang rendah.
Dengan tenang mengikuti liku jalur, ke kanan, kiri, berputar, dan… akhirnya terhenti. Ada satu tanjakan, dan air tidak bisa menanjak.
Aku sadar, mungkin ini saatnya aku berhenti mengagumimu.

**
Aku masih ingat, pertama kali kita bertemu di ujung pandang ruang kelas ini. Di sisi yang bersebrangan. Kita hanya terpisahkan oleh sekat udara.
Namun nyatanya, sekat udara itu tidak sedekat yang aku bayangkan.
Kau terlalu jauh, dan aku tidak pernah bisa menunjukkan secarcik rasa yang aku punya. Meski hanya secuil dari luasnya perasaanku.

**
Sejujrunya kau tidak pernah sadar bahwa kita kembali bertemu. Dalam ujung-ujung ruang yang sama. Dalam sisi-sisi yang sama. Juga dalam sebuah barisan yang sama.
Aku terlalu senang saat itu. Sampai-sampai aku terbuai oleh waktu. Yang justru tanpa aku sadari sudah habis.
Dan tidak lagi bisa di ulang.

**
Andai hidupku bagai DVD yang bisa di putar ulang.
Aku akan me-reply semua kejadian yang terjalin erat dalam ingataku. Denganmu. Saat kau tertawa, saat kita tertawa. Saat aku tersenyum dan kau mengejekku. Saat aku menangis, yang justru kau terdiam.
Aku rindu segala sesuatu yang terjadi bersamamu. Meski hanya sebatas saling berpandangan tanpa berkata.
Karena bahkan, kata tidak akan bisa mewaliki semua yang aku rasakan.

**
Aku ingin bertanya, nanti saat ini memang benar-benar saat terakhir pertemuan kita.
Apa kau sadar?
Kala mataku terus tertuju pada gerikmu.
Kala aku terus memandang punggungmu yang semakin pudar.
Begitu juga, saat aku mengagumi senyummu dari kejauhan.
Jawab aku, dengan jujur, dengan tawa mengejekmu, dengan sebuah ketenangan yang selalu kau ciptakan, sekali pun kau tidak menyadarinya.

**
Percaya?
Hampir dua tahun belakangan aku tidka pernah tidur saat hari ulang tahunmu? Saat aku menyalakan alarm tepat pukul 00.01, dimana –aku yakin kau tertidur tanpa peduli ulang tahunmu sendiri- aku terjaga dan berharap.
Tuhan selalu memberikan yang terbaik untukmu.
Di temani dingin malam juga gelap yang tanpa ampun.
Di iringi senandung angin yang tidak menyusup dan menghantarkan do’aku.

**
Good luck
Hanya dua patah kata itu yang keluar di mulutku saat kita berpapasan di ruang ujian. Tidak lebih dari dua kata sederhana berbahasa asing itu.
Itu bukan hanya kata.
Kata tanpa makna yang terlalu sederhana.
Akan kuberi tahu, kepadamu. Bahwa itu, adalah kata sederhana, dimana memang ada do’a untuk keberhasilanmu.
Dan ternyata, kau membalas dengan kata-kat ayang tidak jauh lebih sederhana. Entahlah, aku tidka berpikir maknanya.
Apakah hanya sekedar kata formalitas.
Atau… hanya angin lalu.
Yang jelas, aku tidak peduli. Karena katamu, sudah membuatku terbang ke tempat terindah. Di dasar mimpiku.

You too

**
 Sial!
Suara itu masih menyusup dan semakin kuat di telingaku. Nada-nadanya membuatku mual, liriknya semakin menjatuhkanku di nyata yang berusaha kututupi.
Kenapa harus?
Aku tidak pernah sedikit pun untuk berhenti mengagumimu dengan perasaanku ini. Tapi… kenapa?!
Harus ada kata move on setelah dua tahun berlalu begitu saja? Setelah aku sudah tterpaten di dasar mimpi-mimpi yang aku rajut atas dasar dirimu?
Entah.. lagu itu terlalu mengusik semua pertahananku.
Karena… sudah ada dua jalur. Atau bahkan hanya satu jalur.
Apakah aku harus terus melanjutkan jalan itu tanpa harus berhenti karena masa lalu denganmu.
Atau…
Ada dua jalur di sana, melupakan masa lalu, lantas berjalan ke depan.
Sedangkan jalur yang satu lagi.
Terus berjalan ke depan, meski menoleh terus ke belakang.
Aku belum mmutuskan apapun. Karena diam-diam aku maish berharap, air itu bisa menanjak, dan membuatku bahagia.
Saat aku sadar, lagu itu sudah hampir habis.
Bodohnya diriku selalu menunggumu
Yang tak pernah untuk bisa mencintai aku
Oh Tuhan tolonglah beri aku cara
Untuk dapat melupakan dia dan cintanya
***


Minggu, 18 September 2011

Penggalan Masa Yang Tertinggal

Tak ada yang perlu dijabarkan tentang sebuah perasaan. Perasaan? Setiap orang pasti memilikinya. Aku juga begitu. Ini hanya perasaan sederhana yang begitu indah. Istimewa karena kesederhanaannya.
Lantas, ini sebuah cerita tentang sebuah perjalanan kecil di akhir masa putih-biru. Di bawah naungan sebuah gedung dengan sebutan ‘sekolah’. Tanpa ada ruang lingkup yang lebih besar. Hanya... seperi itu...

**
Entah karena keberuntungan atau memang takdir. Aku juga tidak tahu, hari itu, detik itu, aku mengecap sesuatu baru. Hal yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Lantas, apakah hanya sebatas ini? Atau...

**
“Jahra!” seru seseorang.
“Kenapa?” Zahra pun langsung menghampiri anak tadi. Aku? Jangan ditanyakan. Sudah pasti mengekori kemana temanku yang satu itu pergi.
Percakapan singkat terjadi diantara keduanya, serius? Tidak sama sekali. Yang ada mereka justru membicarakan salah seorang guru kami lengkap dengan gaya mengajarnya. “Iye... nanti gue titipin salam sama Pak Anto!”
Aku menatapi ketiga orang itu. Terpaku pada keduanya. Ada yang menarik diantara kedua orang –yang satu sedang mengobrol dengan Zahra. Garis wajah itu begitu... stop! Kenapa aku jadi berdebar seperti ini?
“Oke deh! Balik dulu gue!” pamit Zahra yang langsung menarik tanganku menuju kelas.
Aku menyenggol perutnya pelan, “Kenapa?”
“Hah? Itu... pada mau ngumpul,” sahutnya singkat.
“Eh... itu temen lo kelas 7?” tanyaku lagi. Entahlah, hanya sebatas... penasaran?
“Enggak kok. Yang manggil gue doang. Kalo yang temen-temenya itu sih nggak kenal gue. Kenapa emang...? Ada yang lo taksir? Ecie…
Aku memutar mataku kesal. Anak ini... “Tau akh! Bodo...”

**
Ini hariku, dimana sejuta bunga datang dalam mimpi fanaku

Hari kenaikan kelas?
Ini bukanlah hari yang istimewa untuk anak-anak yang bukan merupakan anak OSIS. Toh pada akhirnya kami akan tetap melakukan KBM sampai pukul 2, seperti biasa. Membosankan.
Tapi aku rasa, kali ini akan benar-benar sangat-sangat berbeda. Percaya atau tidak. Aku. Akan. Sekelas. Dengan. Pemuda. Itu.
“Kenapa lo? Pagi-pagi udah jadi patung selamat datang?” ledek Rio dari belakang. Ya ampun! Sampai kapan aku harus terus sekelas dengan orang gila ini?
“Tuh kan... udah siap meledak lagi... ckck...” dengan gaya yang sok dramatis Rio bergeleng pelan. “Sekali-kali jadi cewek yang feminim sedikit bisa?”
Aku langusng saja menatapnya tajam, “Jadi cowok diem bisa?”
“Kalo ditanya jangan balik nanya. Tau?”
“Emang ada aturannya?” ujarku membalikkan.
Dengan wajah yang dibuat ‘masa bodo amat’ pemuda itu langsung saja duduk di kursi. “Eh, lo duduk di belakang gue yak? Haha...”
Aku segera saja berjalan kekursiku dan menyambar tas. Bermaksud ingin pindah tempat duduk. Dimana saja. Asal jangan di dekat Rio. “Yeeh...” aku mengerucutkan bibirku.
Sudah tidak ada lagi kursi kosong di dalam kelas ini. Payah.
“Udah, takdir lo emang di sini. Udah duduk sana.”

**
Gabriel Stevent.
Dua kata saja? Namaku juga cuma terdiri dari dua kata. Tapi ada yang magis dalam kedua kata itu. Kalian mau tahu apa artinya? Tanya saja sendiri dengan kedua orang tuanya.
“Ngeliatin siapa sih?” lagi-lagi. Seribu lagi. Kenapa harus pemuda ini sih? Ya Tuhan... salah apakah hambamu ini?
“Oh, Gabriel. Lo suka?”
Hah? Apa? Suka? Apa iya?
Tuh kan... gue bilangan yak?” Belum juga aku menolak, suara Rio sudah terdengar di seluruh penjuru kelas, “Gabriel ada yang suka sama lo. Namanya...”
Sebelum potongan kalimat itu meluncur dengan cepat dan menimbulkan hal-hal menyebalkan berbau ledekkan, segera saja kuinjak kakinya. “AUW! SAKIT!” jeritanya.
“Makanya jangan ngomong yang aneh-aneh. Gue cubit lo nanti.” Ancamku.
Rio mengerutkan kedua alisnya dan berbisik, “Tuh berarti lo beneran suka sama Gabriel.”
Sekali lagi, dengan mulut terkatup, aku injak kakinya dan kucubit lengannya dengan kuku-kuku. “Eh? Sakit ya?” tanyaku saat ia mulai mengaduh. “Sorry. Nggak. Sengaja!”

**
Terhanyut dalam mimpi, memeluk angin dalam nyataku

Aku menguap pelan dan kembali kepada bukuku. Pada pelajaran kali ini –tepatnya pelajaran fisika- aku sama sekali tidak memperhatikan guruku yang sedang berceloteh ria tentang hukum bejana berhubungan.
“Lo mau sampai kapan diem aja?”
Sontak, aku mengangkat wajahku dan mendapatkannya sedang duduk dengan buku dihadapannya. Sesekali tanggannya bergerak menyusuri buku itu dan bergumam sendiri.
Lo ngapain di sini?” tanyaku sedikit canggung. Jujur saja, meski pun kami sekelas, aku belum pernah berbicara secara ehm... apa ya? Mengobrol santai mungkin.
“Lo nggak ngedengerin tadi di suruh kerja kelompok?”
Ah. Dia selalu saja seperti itu. Berbicara tanpa menatap orang yang mengajukan pertanyaan. “Emang iya?”
Benar saja, aku sekelompok dengannya karena pemilihan dari guru. Ternyata guru fisikaku berpihak padaku. Haha,
“Jangan pernah ngebalikin pertanyaan kalo belum di jawab.”
“Lo sama aja sama Rio.” Cetusku yang lalu menarik buku IPA dengan malas.
Keheningan terjadi begitu saja. Kami sama-sama sibuk dengan tulisan dan lambang-lambang memusingkan ini. Lebih baik belajar Biologi dari pada belajar Fisika. Ah. Atau lebih baik belajar Bahasa? Yang penting jangan ada garis yang memusingkan.
“Eh, menurut lo, nanti Bu Rai masuk nggak ya? Gue males banget nih belajar sejarah...”
Dia curhat? Atau lagi bergumam dengan tembok? Aduh... habis matanya terus meantap buku sih.
Heh... kumat lagi lo?” Oh, dia berbicara denganku ternyata.
Aku membalik sekilas lembaran itu, “Gue kira ngomong sama tembok, tanpa frekuensi gitu.”
Dia melengos dan berdecak pelan. Apa aku tidak salah lihat? Gabriel...

**
Manusia akan menua, tempat bisa berubah, kita bisa melupakan. Karena itulah kamera digunakan, untuk merekam hal-hal yang tidak dapat diingat manusia dengan sempurna.
Jika itu yang dikatan Winna Efendi dalam Refrain. Maka aku akan menyetujuinya. Karena sekarang –setelah sekian tahun terlewatkan- tempat-tempat ini sudah berubah. Perlahan-lahan.
Aku membuka pintu kayu itu pelan. Deritan kecil pun terdengar. Ini... tempat itu? Ruang kelasku dulu?
Aku meduduki sebuah kursi di sana. Tepat di depan meja guru. Memutar dan menatapi setiap inci ruangan ini. Warna temboknya sudah berubah, tidak lagi putih seperti dulu. Letak lemari sudah tidak di belakang kelas. Meja guru sudah bergeser. Sekarang sudah ada LCD yang bergelantung di depan kelas. Tidak seperti dulu yang masih menggunakan OHP.
Apakah... rasaku juga sudah berubah?

**
Tak perlu ada yang tahu. Karena ini adalah duniaku.

“Jadian nggak ngasih tahu. Oke fine, thank you.” Ujarku sambil bersedekap tidak jelas di depan Zahra dan Alvin.
“Ah, lo apaan sih, nggak jelas gitu bahasa.” Ujar Alvin yang langsung menyerobot ucapannku.
Tanpa perintah lagi aku langsung duduk dihadapan kedua makhluk itu. Menyodorkan kedua bilah tanganku dengan bibir yang mengerucut beberapa centi. “PJ.”
Peje-peje ae. Apa tuh? Lo tuh sekali-kali ngasih PJ.” Protes Zahra.
“Tau lo, kapan kita dapet PJ? Nggak pernah jadian lo. Lo mulu yang minta PJ sama gue. Apaan tuh?” aduh, si Alvin ini. Protesnya berlebihan. Lagi pula, siapa suruh dalam setahun jadian dalam jangka waktu cepat dan move on dalam watu satu hari?
“Lah... elo jadian terus sih, Vin.”
“Emang lo nggak ada cowok yang lo taksir gitu?
Ini lagi si Zahra. Kenapa harus pertanyaan seperti itu. Tidak adakah pertanyaan yang menyangkut tentang hati? Harus ya?
Mungkin karena terdiam terlalu lama, Alvin berkata spontan. “Lo suka Rio ya?”
“Bukan kok.” Jangan katakan jika nada bicaraku sekarang melemah dan hilang.
“Boong banget sih?” kali ini suara Zahra, “Lo kan emang deket sama dia.”
Telunjukkku memutari bingkai kotak jam tanganku, membiarkan satu putaran menghabiskan satu detik. Membiarkan watu itu terbuang percuma. “Bukan. Yaudah kalo nggak percaya.”

**
Berdiam. Bercerita kepada angin. Dan membiarkanya menyampaikan kepada sang matahari, bahwa aku lelah untuk menanti.

Kapal berlayar tanpa angin
Bunga-bunga mekar tanpa kupu-kupu
Cahaya datang tanpa merambat

Aku... bukan mereka yang bisa sempurna dengan sendirinya
Aku adalah aku yang ingin menjadi sempurna denganmu

“Ini... puisi buat siapa?” suara Rio langsung saja menyusup cepat di telingaku. Membuatku secara reflek merebut kertas itu. “Buat Gabriel ya...”
Aku melumatnya menjadi gumpalan kertas tanpa arti dan memasukkannya ke dalam tas. “Bukan urusan lo. Udah sana.”
Aku mendesah pelan. Membiakran partikel udara masuk dan keluar lagi. “Iya. Emang buat Gabriel.” Gumamku pelan. Berharap angin-angin menghantarkan gelombang itu. Tapi naas, jarak antara aku dan Gabriel terlalu jauh.

**
Tap... Tap... Tap...
Di lorong terujung di Unit 1. Tanpa ada yang tahu, Gabriel berjalan menuju ruang kelasnya dulu. Sendirian. Tanpa mengubris pensi yang sedang di gelar almamaternya ini.
Setibanya di lantai dua, ia mendorong pelan pintu kelas yang terletak di sebelah tangga. Baru saja ia membuka pintu itu. Di sana, di barisan terujung. Gadis itu... Shilla.
“Hey.”

**
Ritme itu memusingkan. Aku tidak mengerti akan hal itu. Tapi yang aku tahu, kau menikmati setiap alunannya.

Dum... tag... ting... dum.. dum...
Pensi. Kali ini diakan di akhir semester satu. Satu hari menjelang pengambilan nilai oleh orang tua murid. Hampir semua ekstrakulikuler di sekolahku mengisi acara ini. Termasuk ekstra yang baru berdiri dua tahun lalu itu. Perkusi.
Perkusi, sebuah grup yang memainkan music dari barang-barang bekas. Galon, botol kaca, tam-tam, sendok atau tong-tong besar. Ekstra ini benar-benar melejit sejak pertama kali didirikan.
Gabriel menunduh sopan. Sepertinya ia menjadi komandan dalam grup itu. Dia memukul drumnya dua kali dan hentakkan ketiga mereka semua sudah bermain. Entahlah, aku tidak mengerti dimana letak keharmonisannya. Padahal, nada itu bersaut-sautan satu sama lain dan hentakannya pun terlalu... yah... seperti itu.
Aku mengarahkan kamera digital ini (tolong dicacat, ini bukan masa dimana sudah ada SLR dkk) membidikkannya tepat pada gabriel.
“Eh, lo nggak ansambel?”
Aku memutar badanku dan mendapati Rio di sana, dengan gitar dan baju hitam berdasi putih –sama sepertiku. “Lo aja belum ke atas...”
Dia hanya tersenyum mengejek, “Yaudah ayok!”
“Aah. Nanggung ini... perkusi,” rengekku saat pergelangan tanganku ditarik sekilas olehnya.
“Pasti Gabriel ya... hayo...”
“Tangannya biasa bisa mas?” ujarku menampik telunjuk yang ia goyangkan di depan mataku. “Udah ayo!”
Aku menapaki setiap tangga. Membiarkan gelombang itu memasuki telingaku. Membiarkannya tertinggal lagi dibelakang. Lantas... apa yang akan terjadi?

**
Berjalan dalam waktu, menghilang dalam masa itu. Aku... merindukanmu.

“Yang nggak masuk siapa?” begitulah kira-kira kalimat yang harus aku ucapkan setiap bel jam pertama berbunyi.
“Gabriel... sama... udah deng.” Seru sebuah suara.
Aku menulis namanya di papan absent dan bergumam, “emang ada ya di kelas kita yang namanya udah deng?”
“Nggak update sih lo. Makanya upgrade ke windows 7, mozilla 4.1, pake avir, kalo kurang juga pake google chroome, biar updatenya cepet.”
“Nyeh. Bodo ah.”
Aku segera berjalan menuju kursiku. Barisan pojok dekat pintu, nomor keempat dari depan. Terlalu belakang? Yah... inilah manusia yang selalu terlambat sehingga tidak mendapatkan kursi stategis di awal semester.
Gabriel. Kemana ya pemuda itu?

Dari tengah, aku menarik garis itu kesamping, lalu kebawah, melengkung di bagian bawahnya dan naik sedikit, membuat lagi lengkungan lain di atas. Begitu juga huruf-huruf berikutnya. Aku buat dengan lambat.
Kemana gabriel? Ini sudah hari ke tiga ia tidak masuk sekolah. Pasti besok seksi kekeluargaan menjenguk.

Betul saja. Zahra sudah bersiap untuk menjenguk Gabriel. Untung saja jabatan itu diisi oleh Zahra, setidaknya aku memiliki suatu alasan untuk melihat keadaannya. Iya kan?

**
Pergi dan menjauh. Hilang dan tertelan. Inilah ujung pertemuan.

Beginilah nasib anak yang menggunakan tangan kidal bermain gitar apalagi saat pementasan. Aku harus bersedia di tempatkan di bagian terluar dan terbelakang. Guna mempernyaman pemain lagian –agar leher gitarku tidak beradu dengan leher gitar orang lain.
Aku mulai memetiknya satu persatu. Membiarkannya senada dengan suara gitar 1. Ah. Ini benar-benar parah. Suara gitarku lebih rendah dua mol sepertinya. Tuh... terdengar aneh, kan.
Setelah beberapa waktu menyesali kenapa aku tidak memainkan gitarku sebelum pementasan, musik mulai memasuki intro lagu. Sudah, jangan di pikirkan lagi, yang ada nanti aku justru tertinggal lebih jauh. Dan... “Udah... Cuma satu mol ini...” celetuk Rio.
Satu mol? Dua mol ah. “Nggak beda-beda banget.” Lanjutnya lagi, “Mending lo liat ke kiri noh, Gabriel lagi mau foto.”

Baru saja aku turun panggung, Zahra sudah menghampiriku dengan selembar kertas absent. Pensi seperti ini masih harus mengurusi tugas kelas?
“Tadi lo kayaknya dicariin Gabriel deh. Urusan... absent.”
“Emang dia ketua kelasnya?”
“Mana gue tau, tanya aja sana. Eh, dia bilang sekalian bawa gitar! Dia mau pinjem buat tampil!” seru Zahra lagi.
Aku langsung menyambar tas gitar dan berlari menuju kelasku yang ada di unit 1. Aku rasa dia sekarang ada di kelas.
“Oke deh, dari pada gue banyak ngomong nih, mending sekarang kita dengerin aja nih, ada yang mau nyanyi dari anak kelas 9-3.”
Ah. Masa bodo siapalah yang mau benryanyi dari kelasku. Yang penting sekarang adalah Gabriel mencariku.
Cultivate your hunger before you idealize.
Astaga. Itu... suara Gabriel.

**
Aku mengangkat wajahku saat pintu itu terdorong pelan. Menghadirkan sosok yang bahkan tidak aku tahu keberadaannya setelah hari kelulusna itu. “Hey.”
Aku tersenyum kaku. Wajahnya sudah benar-benar berubah. Tidak lagi seperti dulu. Kini kumis tipis tergambar jelas di bawah hidungnya, dia juga sekarang menggunakan kaca tebal. Rambutnya kini lebih panjang dan berantakkan. Tidak lagi rapi seperti dulu.
Ini... memang berubah.
“Lo inget gue kan?”
Aku mengangkat wajahku dan tersenyum, “Gabriel kan?”
Dia tertawa kecil dan langsung duduk di sebrangku, “Inget lo? Hahaha... anak-anak yang ada nggak inget gue lho. Parah kan?”
“Lo... berubah banyak sih.”
“Hah?” dia menatapku sekilas, mata itu... kini benar-benar teduh. “Iya kali ya? Lo juga banyak berubah.”
Aku melengos sekilas, “Apanya yang berubah?”
“Dulu lo seringnya bawa-bawa camera digital, sekarang SLR. Bellum lagi kalo udah hari Kami-Jumat-Sabtu, lo selalu bawa-bawa gitar. Udah kayak pengamen. Paling berisik. Berantem sama Rio, kemana-mana sama Zahra.”
Sebegitu hafal kah dia tentangku? Iya?
“Gue masih bawa gitar kok. Tuh...” aku menunjuk meja guru. “Mau pake?”
“Sini mana....” pemuda itu langsung menyambar dan kmebali lagi duduk di hadapanku.
Baru ia mau membuka mulutnya, aku segera bidikkan SLRku. Dia tersenyum kaget. “Kalo ngefans jangan foto kayak gitu dong.”
Memang... ada yang berubah. Rasa ini tidak lagi seperti dulu. Tidak lagi seindah dulu. Tidak lagi aku harapkan senyum itu. Kini... tidak ada lagi getaran. Hanya ada kekaguman dan kilasan masa lalu itu.
***
Ini kayaknya cerpen pas kelas 8 awal-awal gitu deh. Yang masih ada web yang ICL yang di ning itu deh kayaknya. Wak, nggak di post di sana -____- Bodo aja gue mah.
Itu cuma sekedar nama doang, bener deh. Gue paling nggak bisa bikin nama. tapi... jan di sangkut pautkan dengna hal2 lainnya.
Buat NADIA! kalo mampir di sini wajib comment pokoknya, jan mampir doang