AKU TENGAH MENANTIMU
Sapardi Djoko Damono
aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas
awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
kudengar berulang suara gelombang udara memecah
nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah
telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak sepi
ditengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun menanti
barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama
GARIS
Sapardi Djoko Damono
menyayat garis-garis hitam
atas warna keemasan; di musim apa
Kita mesti berpisah tanpa
membungkukkan selamat jalan?
sewaktu cahaya tertoreh
ruang hening oleh bisik pisau; Dikau-kah
debu, bianglala itu,
kabut diriku?
LAYANG-LAYANG
Sapardi Djoko Damono
Layang-layang barulah layang-layang jika ada angin
memainkannya. Sementara terikat pada benang panjang,
ia tak boleh diam — menggeleng ke kiri ke kanan,
menukik,
menyambar, atau menghindar dari layang-layang lain.
Sejak membuatnya dari kertas tipis dan potongan
bambu, anak-anak itu telah menjanjikan pertemuannya dengan
angin.
“Kita akan panggil angin Barat, bukan badai atau petir.
Kita akan minta kambing mengembik, kuda meringkik,
dan sapi melenguh agar angin meniupkan gerak-gerikmu,
mengatur tegang-kendurnya benang itu.” Sejak itu
ia tak habis-habisnya mengagumi angin, terutama ketika
siang
melandai dan aroma sore tercium di atas kota kecil itu.
Dari angkasa disaksikannya kelak-kelok anak sungai,
pohon-pohon jambu, asam jawa, bunga sepatu, lamtara,
gang-gang kecil, orang-orang menimba di sumur tua,
dan satu-dua sepeda melintas di jalan raya.
Ia suka gemas pada angin. Ia telah menghayati sentuhan,
terpaan, dan bantingannya; mungkin itu tanda
bahwa ia telah mencintainya. Ia barulah layang-layang
jika
melayang, meski tak berhak membayangkan wajah angin.
SAJAK
Sapardi Djoko Damono
“Biar kunyalakan lampu, agar tampak jelas
di mana pintu, tempat aku bebas keluar masuk.
Aku laki-laki, kau tahu, tak tentram dalam gelap.”
Perempuan itu diam; mungkin ia lebih suka
menebak-nebak saja apakah yang nafasnya sengit
dan keringatnya anyir itu Arjuna atau Rahwana.
SAJAK-SAJAK KECIL TENTANG CINTA
Sapardi Djoko Damono
/1/
mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
/2/
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
/3/
mencintai-Mu
harus menjelma aku
IA TAK PERNAH
Sapardi Djoko Damono
ia tak pernah berjanji kepada pohon
untuk menerjemahkan burung
menjadi api
ia tak pernah berjanji kepada burung
untuk menyihir api
menjadi pohon
ia tidak pernah berjanji kepada api
untuk mengembalikan pohon
kepada burung
HUJAN BULAN JUNI
Sapardi Djoko Damono
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
AKU INGIN
Sapardi Djoko Damono
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat di ucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada
YANG PALING MENAKJUBKAN
Sapardi Djoko Damono
Yang paling menakjubkan di dunia yang fana ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita bisa membayangkan apa saja tentangnya,
menjadikannya muara bagi segala yang luar biasa.
Kita bisa membayangkannya sebagai jantung
yang letih, yang dindingnya berlemak,
yang memompa sel-el darah agar bisa menerobos
urat-urat yang sempit, yang tak lagi lentuk.
Kita bisa membayangkannya sebagai bola mata
yang tiba-tiba tak mampu membaca aksara
di dinding kamar periksa seorang dokter
ketika ditanya, “Apa yang Tuan lihat di sana?”
Kita bisa membayangkannya sebagai lidah
yang tiba-tiba dipaksa menjulur agar bisa diperiksa
apakah kemarin, atau tahun lalu, entah kapan
pernah mengucapkan suatu dosa, entah apa.
Sungguh, yang paling menakjubkan di dunia kita ini
adalah segala sesuatu yang tidak ada. Soalnya,
kita boleh menyebut apa pun yang kita suka tentangnya
sementara orang berhak juga menganggap kita gila.
PADA SUATU HARI NANTI
Sapardi Djoko Damono
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari
[ ][ ][ ]***[ ][ ][ ]
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggal jejakmu di bawah jejak kecilku. Silakan menggunakan Name/URL atau Anonymous :)