Senin, 20 Mei 2013

Fanfic JKT48 - Bukan Pertanyaan


Cinta adalah anugerah terbesar dalam hidup seseorang. Semua orang bisa merasakan cinta. Dengan caranya masing-masing, orang-orang selalu menemukan dan mempertahankan cinta mereka tersebut.
Cinta kepada orang tua.
Cinta untuk hewan peliharaan.
Macam-macam cinta yang bisa diekspresikan dengan cara masing-masing. Tapi cinta ini, cinta sederhanaku kepadanya adalah sebagaimana menjaga cinta ini tertap bersemi tanpa pernah gugur.

Dan menyimpan dengan hangat di sebuah tabung waktu.

**

Pelajaran Geografi di jam ketiga-keempat di hari Selasa adalah hari yang sebenarnya aku tunggu-tunggu. Berjalan pelan melewati lapangan, memperhatikan satu titik yang tidak akna pernah luput dari pandanganku.

“Opeeeer! Woy! Nyantai!”

Seketika si pelempar tertawa. Ya, senyum itu yang selalu aku perhatikan. Sesuatu yang magis selalu menyergapku tiba-tiba. Mereka kembali lagi berlari, di tengah lapangan berusaha untuk bermain basket, walau hasilnya sudah seperti ikan yang baru dilempari pelet.
“Hahaha...!” ups sepertinya aku sudah memancing mereka untuk behenti bermain. “Sorry, sorry, nggak maksud ngetawain kok. Udah lanjutin lagi aja!”
“Huuuu!” semua bersorak, tidak sudi dihina begitu mungkin. “Modus mulu lo kalo kita OR!” salah satu menyeletuk diantara mereka.

Tak lama, Jeje mulai bersorak, “Nyariin siapa lo? Hah? Shania lagi?”
Aku hanya tertawa, sadar betul gadis itu juga ikut tertawa merekah. “Itu tau! Salamin buat dia, Je!”
Maka kata-kata tadi disambut heboh. Shania sendiri juga menanggapi dengan candaan. Terlihat begitu jelas Jeje yang paling bar-bar dan semangat meledek. “Nggak deliv salam lo! Beda operator sih! Ngomong aja makanya!”
Aku mengacungkan jempol, kemudian berteriak. “Shania! Cetak score ya!”

Dan mulai berjalan meninggalkan mereka. Membiarkan permainan basket tadi di gantikan oleh ceng-cengan dengan Jeje sebagai komandannya.
Lebih baik begini, sekedar bercanda. Menutupi sesuatu yang memang harus ditutupi. Begitu kan, Shan?

**

Sekolah ini terletak di tengah-tengah perumahan. Ada di blok C, jadi letak sekolah ini cukup dekat dengan pintu depan perumahan. Sedangkan rumahku sendiri, lebih dekat dengan pintu barat, ada di blok I –jauh kan? Jauh, sangat jauh orz.Karenanya aku lebih memilih untuk memboyong sepeda tiap pagi.
Lain halnya dengan seorang gadis yang sedang duduk di pos satpam. Biasanya dia sudah dijemput oleh adiknya dengan motor. Tapi kiniia sedang sendiri, memainkan ponselnya.

Sejenak, mataku memandanginya dari pintu parkiran. Wajahnya sangat berbeda, 180 derajat. Cengiran khasnya yang terkesan jahil, tawanya mengisyarakatkan kebahagian, sorot mata yang tidak kenal lelah. Semua sirna.

Sorotnya terkesan lembut, lirih, menghanyutkan. Gurat wajah yang terkesan tenang, bukan seperti partner Jeje untuk berceletuk. Bukan yang biasanya.

Lantas aku mengayuh pedal ini pelan. “Twitter mulu.” Celetukku, membuat Shania menoleh.
“Yee... sok tau lo. Orang lagi chat.”
“Kok belum pulang? Nungguin gue ya?”

Wajahnya berubah masam, mau tak mau membuatku tertawa. Iniyang selalu membuatku melontarkan kata-kata GR super. Wajahnya yang sebenarnya menahan antara tawa dan senyuman. Matanya yang menjadi indikator, menyipit.
“Nungguin sepupu sih ya. Mau jalan. Lagian ngapain sih, kepooo.”
Aku turun dari sepeda, kemudian duduk sampingnya. “Haduuuh. Sepupu lo cewek apa cowok?”
“Apaaa siiih, nanya-nanya.” Gerutunya, tapi toh akhirnya menyahut, “Beby yang mau main. Ikh, apa sih senyum-senyum gitu?”
Ah ya, Beby. Si gadis irit ngomong yang sering main dengan Shania. “Dia udah punya pacar belum?” sahutku, refleks menggoda Shania seperti biasa.

Shania berpikir sebentar, “Nah itu orangnya dateng! Tanya aja sendiri!” ia menunjuk sebuah mobil yang berhenti di depan gerbang, kemudian keluarlah Beby. “Beeeb! Ditanyain tuh, udah punya pacar apa belum!”
Yang ditanya hanya tertawa kecil, “Nggak mau pacaran.” Sialnya, Shania menarik satu kelopak matanya dengan telunjuk dan melet.

“Berarti gue memang ditakdirkan buat elo, Shan. Hahaha~”
“Tembaklah.” Sahut Beby singkat, tapi tersenyum penuh arti kepadaku. Apa Shania pernah bercerita sesuatu ya, tentangku?

“Lo mau nggak, Shan, jadi pacar gue?” aku bertanya, tapi bercampur tawa. Lelucon.
“Ye~ apa sih lo, abang-abang modus. Udah, gue mau jalan!”

Lantas mereka berlalu, aku hanya bisa melihat rambutnya mengikuti gerak bahu. Melewati gerbang. Disambut Beby yang menjahili sepupunya. Sayangnya aku tidak bisa melihat rona wajahnya.

Apa kamu tidak menghiraukan pertanyaanku?

**
Sialnya hari ini aku harus pulang telat karena rapat OSIS. Mau tidak mau harus keluar dari sekolah pukul 7. Keluar dari ruang OSIS berbarengan.
“Besok jangan lupa minta izin jam ketiga ya?” Kak Melody mencolek bahuku, membuatku mengangguk singkat. “Siangnya kakak mau udah terima listnya. Oke?”
“Iyaaa kakaaak.” Sahutku malas, sudah tiga kali dari selesai rapat dia mengingatkanku begini.
“Heh.” Sahutnya, mencolek lenganku –lagi.
“Apa sih kak colek-colek terus. Saya bukan sabun colek tau.”
Dia melotot, sudah cukup menyeramkan bagiku. Oh ayolah. “Nanti kamu tuh kalau nggak diingetin –atau nggak besok pagi nggak di sms pasti lupa. Pikun.”
Aku naik ke atas sepeda yang sudah stay di depan ruang OSIS sejak jam lima tadi. “Mau bareng nggak ke depan gerbangnya?—Hehe, peace.” Aku mengacungkan dua jariku, sadar aura sudah memburuk. “Kalo gitu duluaaan!”

Dari tempat ini, aku melihat siluetnya. Berdiri tegak, sedang menikmati alunan musik dari headset. Membuatku, lagi-lagi menghampirinya. Menghentikan sepeda tepat di depannya.Tanpa suara, kami hanya saling pandang untuk beberapa detik. Aku menerka sejenak, apa yang sebenarnya ada di dalam otaknya –atau hatinya?
“Mana Ray?” aku menyebut nama adiknya.
“Tadi dia keluar, jadi agak lama nunggunya.”
Aku mengangguk, “Rumah cuma dua blok dari sini, harus nunggu orang yang lagi di luar kompleks?”
“Gitu deh. Udah malem.”

Lantas kami kembali diam. Mmbiarkan angin malam sejenak mengisi percakapan kosong diantara kami berdua. “Bareng gue, yuk.” Sahutku pelan, menunggu suatu reaksi yang...
“Mau dimana coba? Di depan gitu?”
“Jangan jadul deh ya.” Sahutku, sadar maksudnya dia harus duduk di depanku, seperti nona belanda gitu.
Dia mengerutkan keningnya, “Terus—“
“Berdiri di belakang. Udah ayo, daripada Ray nggak balik-balik.”
Shania menatapku ragu, kemudian memandang sepadaku. Tapi kemudian dia naik juga. “Err... harus pegang pundak?”

“Peluk juga boleh kok. Hehehe.” Tapi sayangnya dia tidak menanggapi candaanku.
Aku pun mulai melajukan sepadaku, membiarkan dia memengangi seujung tasku. Tidak menambah kecepatan, juga tidak menguranginya. Supaya Shania tetap stabil berdiri di sepeda dengan posisi rentan jatuh.

Menikmati malam ini... berdua... selama tiga-empat menit. Kenangan yang membayar sedikit lelahku seharian. Melupakan ocehan dan instruksi KetuPlak beberapa saat.

Menjadi penyemangat kerja keras yang akan kujalani beberapa minggu ke depan. Shan, kamu tahu, seberapa hangat hati ini sekarang...?

**

Istirahat pertama dan aku memilih untuk sarapan di kantin. Pagi ini benar-benar parah. Aku telat bangun, tidak sarapan, dan... telat begitu tiba di sekolah.
Ini semua karena tiga hari kemarin –juga akan berlanjut- sibuk dengan proposal. Tiga jam stelah pulang sekolah harus duduk di depan komputer di ruang OSIS untuk berkutat dengan layout proposal. Sialnya, Kak Melody menginginkan beberapa desain proposal!
Belum lagi proposal untuk kebutuhan mencari sponsor acara.
Logo yang ngaret diberikan oleh anak kelas XI.
Belajar untuk ulangan besok pagi.
Tugas sekolah yang keteteran.
Sisa gelas-gelas kopi.
Mata ngantuk.
Ah ya, Shania sedang bercengkrama dengan teman seklasnya di ujung kantin.
...
...
“Shania!” aku berseru. Sumpah aku sendiri kaget kenapa bisa melupakan gadis itu. Err... kenapa juga aku harus berteriak sebegitu keras di kantin bgini?

“Heeeh, di cariin tuh!” Jeje mulai lagi.
Kepalang tanggung, aku menghampiri mereka. Menyelip diantara zombie lapar, kemudian berdiri tepat di belakangnya. “Geser Je!”
Jeje memutar kedua matanya, “Baik Mblo.” Seketika aku menoyorkepalannya. “Apa sih. Lo kan emang jomblo, mblo.”
“Naik kasta dia. Makanya sekarang semua orang di panggil jomblo.” Gadis berambut pendek itu berkomentar.
Pantas bocah ini jadi seenaknya panggil orang single dengan sebutan jomblo-jomblo. “Eh, Shania pacar gue ya. Lagian emang ada yang mau sama elo apa?”
“Ooo, belum tau dia!” empat orang ini berseru bersamaan. “Encu mau tau!” Shania berteriak menggebu.

Jeje yang diakatai begitu justru tertawa lebar. Encu itu sebutan untuk seorang pedagang mie ayam di kantin. Kenapa di panggil Encu? Mungkin dia cucu dari pemilik kios mie ayam kali ya? Ya... nggak tau juga sih.

“Udahlah, makan cepet. Gue mau nyalin tugasnya Kinal nih, gara-gara ngosis dari sore jadi belum sempet ngerjain bio.”
Oh ya, gadis berambut pendek tadi namanya Kinal. “Emang kemarin lo pulang jam berapa?”
“Ya ampuun. Gue itu balik duluan kok. Kan gue teriak dari pintu. Emang lo balik jam berapa kemaren? Passsti malem.”
“Aaa! Tadi pagi lo telat terus di hukum lari kan? Gue liat tuh. Eh, tadi gue jugangeliat Kak Reno telat lho... bla bla.” Kinal memulai topik random. Emang dasar cewek, lagi ngomong apaa, nyambung kemana...

Shania menyenggol tanganku pelan, “Udah sarapan belum lo?”
“Ehem! Ohok, ohok.”
“Kenapa, Del?”
“Keselek tronton.”

“Aduuuh, lupa. Tadi juga sebenernya mau sarapan ke sini. Yaudah, pesen dul—“
“Makan punya gue aja deh. Belum gue sentuh sama sekali. Tapi ganti dui—“

Meja ini semakin heboh, padahal kata-kata Shania belum selesai. Sejujurnya aku merasa terbang, ini memang hal terdahsyat yang pernah terjadi!
Sedangkan Shania masih berusaha melerai dan memberi penjelasan, sampai dia akhirnya kesal sendiri. “Ikh! Dengerin dulu! Gue mau ngomong! Berisik bangt sih!”

“Heeehe, iya-iya, apaan?” Delima akhirnya melerai kehebohan ini. “Ssstt Ssstt.”
“Tapi lo ganti duitnya, darpiada nggak kemakan. Terus lo lama ngantri juga.”
Gubrak.

Hal yang membahagiakan istirahat pertama ini adalah : Aku duduk disamping Shania sembari menikmati sarapan, bisa mencuri pandang dan melihat tawanya yang renyah di tengah guyon. Tapi yang pling aku sesali adalah terjebak di meja perempuan yang begitu heboh... orz.

**


Cinta itu suara yang tak mengharapkan jawaban tapi di kirimkan satu arah

Dua bulan ini semua urusan untuk turnamen basket di sekolah sudah selesai. Proposal ditandatangi sekolah, surat-surat izin sudah diurus, undangan dan banner sudah disebar ke berbagai sekolah. Tinggal menunggu dana terkumpul beberapa persen lagi dari uang registrasi klub.
Namun, Kak Melody adalah orang yang tidak bisa melihat orang bernafas lega sebelum acara berakhir. Maka hari ini, aku sudah ada pagi buta begini di sekolah.

“Langkah tegap majuu!— Jalan!”

Pukul sembilan pagi. Dan anak-anak paskibra sudah ada di lapangan. Duapuluh sekian orang, membentuk formasi.
Termasuk Shania.
Berhubung rapat belum dimulai, aku memilih untuk melihat mereka dari depan orang OSIS, yang kebetulan ada di samping mereka. Memperhatikan tiap keringat yang mengucur melalui anak rambut yang lepas dari kuncir kudanya.
Gerak tubuh yang tegas.
Hentakkan tangan dan kaki yang begitu serempak.
“Ngeliatin siapa sih?” Kak Melody duduk di sampingku, ikut duduk di lantai.

Aku tidak menjawab sama sekali. Membuat kak Melody –mungkin- mengikuti ekor mataku. Sampai akhirnya ia menebak sendiri. “Shania.”
“Hahaha. Transparant bangetya?” Tapi kenapa semua orang bisa dengan jelas melihat perasaan ini? Kenapa tidak dengan Shania?
“Kamu mungkin terlalu frontal.”
Aku bangkit, merentangkan otot-otot. “Nanti sms kalau udah mulai.” Aku bangkit, pergi ke kantin. Meyegarkan pikiran.

Setelah membeli sebuah kopi kaleng, aku memilih untuk duduk di salah satu deret meja. Ekskul baru saja mulai, jadinya ya kantin masih sepi. Biasanya sih, kalau sudah sekitar pukul 11 baru ada istirahat bebas –atau justru sudah selesai?
“Tapi ini mending lho, biasanya jam 10.” Sangat kentara mereka segeromolan anak paskibra, terdengar dari irama sepatu mereka.
Masih ramai, sampai suara-suara kaki itu menjauh. Tuk, tuk. Gemanya mendekatiku perlahan. Siapa ya? Entah, aku memunggungi orang-orangyang memasuki kantin.

“Rapatnya udah mulai lho.”
Aku berbalik, “Baru istirahat?”
“Rapatnya udah mulai.” Shania mengulangnya sekali lagi. Sadar tidak ingin aku mengubah topik bahasan. “Anggota OSIS macam apa yang ninggalin rapat?”
Aku tersenyum tipis, “Anggota OSIS yang nunggu kamu hampir satu tahun.” Oh god!
Guratnya langsung kaku begitu kan. Membuat kami jadi sama-sama diam. Tidak saling berbicara, tidak saling bertatap. Baru saja kak Melody mengingatkan, jangan frontal. Lantas kenapa jadi kelepasan?

“Mau minum?” Dia menyodorkan sebotol isotonik, berusaha untuk mencarikan suasana. Pun hanya kutunjukkan kaleng kopi. “Jangan suka ngopi –dalam bentuk apapun. Gigi lo udah mulai kuning, nanti di kira ngerokok aja.”
“Thanks udah perhatian sama gue.” Aku menatapnya, pelan, berusaha untuk menyiratkannya. Dengan pasti.
Shania melempar pandangannya –entah kemana- yang jelasbukan mataku. “Gue... gue balik ke dapan ya? Lo juga rapat sana.”

Lagi-lagi ia pergi. Lagi dan terus lagi hanya pundaknya yang bisa kulihat dengan jelas. Bayangannya memanjang seiring langkah kaki yang menjauh, diantara pohon di sepanjang jalan blok D.

Ciiit. “Gue anter balik.”

Tadi, ketika anak-anak paskibra memilih untuk pulang pukul 1 siang. Aku juga memilih untuk keluar dari ruang OSIS dengan dalih baru mengingat sebuah janji. Jadi, disinilah aku sekarang.
“Err... serius?”
“Kapan gue nggak serius?”

Akhirnya dia memilih untuk naik tanpa ba-bi-bu. Selama perjalanan menuju Blok E No 14, perjalan pulang kedua yang sudah terjadi, dia mulai meletakkan tangannya di bahuku. Meberikan kepercayaan? Atau kode?
“Lo sering kok nggak serius.” Shania menyahut percakapan yang sudah agak lama itu.
“Modus-modus itu lo nggak anggep serius?”
Beberapa jeda, “Emang lo pernah serius?”

Aku memberhentikan sepedaku. Diantara sebuah pohom palem dari rumah di kiri jalan. Aku sangat berusahauntuk merangkai sebuah kalimat. Sialnya, aku memang tidak di takdirkan untuk berbelit-blit.

“Selama ini gue modusin lo, atau apalah itu. Termasuk nembak lo, itu serius.”

Berhubung dia tidak bersuara, aku melanjutkan kata-kataku. “Atau perlu gue ngomong sekali lagi neh? Hah? Gue beneran sayang sama lo, Shania.” Kali ini aku tidak memberikan pertanyaan, pertanyaan selalu membutuhkan jawabankan?
Benar saja, rasa sayang ini berwujud dalam sebuah pernyataan. Pernyataan tidak membutuhkan jawaban, tapi kadang membutuhkan komentar. Kenapa aku baru menyadarinya? orz...

Lantas roda sepeda kembali melaju.

Shania mendorong bahuku cukup keras, dengan sambutan tawa yang sangat aku rindukan hadirnya selama persiapan turnamen. Beberapa minggu padat, istirahat di kelas, pelajaran Geografi yang tidak bisa ditinggal, pulang larut sore, aku rindu tawanya, sungguh.
“Dasar, abang-abang modus.”
Hanya seperti ini adanya. Aku yang akan terus memiliki cinta ini. Aku yang akan terus menjaganya untuk tetap bersemi, di sini, di dalam hati. Menikmati kehangatannya, mencandu adiksi senyumnya.

Cara sederhanaku untuk terus menjaga cinta untuk Shania : Pusat dari segala rotasi rasa sayang. Episentrum dari gempa terdahsyat karena rindu.


Karena cinta, adalah suara yang tidak pernah mengharapkan jawaban.

**

Ada beberapa lagi sih, tp masih in progress gitu... hehehe (coba cek salah satu yang udah kelar lagi Burung-Burung Kertas Aku Tidak Melihat Matahari senja
@AgilHape