Sabtu, 28 Januari 2012

Mengeja Hujan

.....Kau mengeluarkan payung itu dari dalam tasmu. Menyibaknya, membiarkanku masuk di sisi kiri payung.
Satu langkah. Dan aku berhenti. Ragu yang menganjal, menjegaku untuk tidak mengikutimu pulang sekarang. Ragu yang selama akan aku tahu kenapa. “Ayo.”
Akhirnya aku berjalan beriringan bersamamu. Membaui aroma tanah. Merasakan kubangan air. Bermain-main dengan dingin.
Sebelum…

 ** ** ** **
“Riaaaaan!”
“Nama gue Giaaaaaan!”
Sudah berapa kali kau mengatakan kata-kata itu. Membenarkan namamu yang selalu salah aku sebut. Nama yang entah kenapa terlalu sulit untuk kuhafal. Entah, padahal kita sudah berteman tujuh bulan belakangan. Lucu ya?
“Kenapa?” kau menyahut ketus saat aku mulai mendekat.
“Mau pinjem payung.” Aku mengulurkan tanganku, memintamu untuk mengeluarkan peneduh yang selalu saja nganggur di tasmu.

Lantas, kau mengulurkan payung lipat biru. Lagi, mengeluarkan kata-kata yang sama setiap aku meminjam payungmu. “Jangan dibalikin, males gue kalo nanti lo yang pinjem-pinjem lagi.”
Mungkin semuanya memang sudah tersetting seperti ini, maka aku menjawab. “Idiiih, berat tau bawa-bawa payung. Apalagi kalo nggak hujan, berat-beratin tas doang.”
Aku menyambar payung itu, berlari kecil menuju ujung koridor. Membiarkanmu nanti pulang berbasah-basahan. Bermandikan air hujan.
**
“Yah, hujan lagi.” Aku menggerutu, saat aku baru saja keluar dari gedung bimbel. Mengulurkan jari-jariku untuk merasakan hjan yang baru saja turun ini. Setelah musim kemarau panjang.
Kala tetesan air itu menggelitik telapak tanganku, sebuah tangan lagi menjulur. Tangan dengan permukaan kasar. Menari pelan di bawah naungan panggung hujan.
Kau menoleh, tersenyum tipis, “Panas salah, hujan tambah salah. Dasar manusia.”
“Yaa, mendung-mendung dikit kan bisa.”
Beberapa jenak diam. Tak lagi mampu berbicara lebih jauh tentang percakapan singkat di bawah hujan ini. Membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Dalam hujan, juga dalam kesunyian.
**
Aku melompat pelan, iseng dengan kubayangan kecoklatan yang menggenang di lubang itu. Membuat cipratan air menari-nari di sekeliling pusat getaran.
“Kayak anak kecil lo.”
Aku menoleh, mendapatkan dirimu dengan rambut basah dan seragam putih yang kuyu. Juga celana biru panjang yang berubah warna menjadi lebih gelap.
Pun aku menginjak kubangan itu, membuatmu berlarian kecil sambil menjerit. Matamu yang sipit dipaksa melotot yang hasilnya justru gagal total. “Jorok lo!”
“Lo lebih jorok! Mandi hujan!” aku menyanggah, membuatmu terbahak pelan dan mengambil alih payungmu. “Eeeh!”
**
“Terus, kenapa lo belum pulang?” Akhirnya kidung hujan di gantikan suaramu yang temaram. Membiarkan sedikit kata untuk menghangatkan dingin.
Aku menarik tanganku, mengelapnya ke tas. “Kan hujan. Gimana sih?”
Bunyi ‘sreeet’ tersengar cepat, membiarkan tanganmu menggeledah ransel biru. Mengobrak-abrik isinya. Dan mengulurkan sebuah payung yang masih sama.
Ah, memori yang sudah lama. Awal dari ritual hujan pulang sekolah kita berawal dari sini, kan?
“Pake nih. Biar lo bisa pulang.”
“Lo ngusir gue?”
“Mau nggak?”
**
Mengeja hujan tak semudah yang di lakukan anak TK. Tak segampang menuliskan alfabetnya. Mengeja hujan seperti menguraikan cerita lama. Membuatku harus kembali membuka lembaran-lembaran cerita yang sudah menua.
Memaksaku mencari-cari apa yang sudah lama. Lama untuk dilupakan, lama untuk dibiarkan, lama untuk dipadamkan.
Karenanya, aku tak pernah bisa mengeja hujan seperti kala itu. Membiakran lidahku kelu untuk menyebut katanya. Menyebut dengan nada dan irama yang sama. Maka, biarkan aku menyebut hujanku dalam asa saja. Berharap angin mampu menghantarkannya untukmu.
**
Sedikit berpikir lama, aku menerima payung biru itu. Sekilas tak ada yang berbeda memang. Namun, setelah sekian lama nantinya. Aku baru tahu, ada yang berbeda dari payung itu.
“Lo tadi pagi bawa jaket, kan? Di pake sabi lika.”
“Oh iya! Lupa!”
Setelahnya, kau menatapku sambil tersenyum, “Yaudah sana, pulang. Nanti tambah deres.”
Menuruti perkataanmu, aku membuka payungmu, menedengi kepalaku dengan plastic bersanggah besi. Yang tanpa kuingat, kenapa aku tidak pernah mananyakan, kenapa kau bersedia meminjamkan payungmu kepadaku, pun setelah-setelahnya, bahkan hingga payung terakhir itu…
**
giantf Hujanku selalu sama, tidak berubah dan tidak bisa di rubah
Kau masih ingat dengan tweetmu yang satu itu? Yang kau tulis begitu aku pulang dari tempat bimbel. Setelah aku melipat payungmu.
Yang kini akan kubantah keras. Kau mungkin beranggapan hujanmu selalu sama. Tapi karena hujanmu, aku selalu memandang hujan dengan cara yang lain, cara yang berbeda. Dan hujanku sudah berubah, tak seperti pertama.
Satu lagi pertanyaan yang melayang dan akan terus menjadi tanda tanya. Terkuak lagi setelah aku membongkar lembaran tentang hujanmu.
Sepele memang, namun ini pertanyaanku :
Masihkah hujanmu sama seperti dulu?
**
“Se-lamat Si-aaaaang Buuu!” koor seperti anak TK itu mampu membuat hati siapapun terbang melejit karena satu lagi hari yang melelahkan berakhir.
Sialnya saja, hari lelah ini baru berakhir sekitar setengah jam lagi untukku. Masih ada lantai kelas yang siap untuk di sapu, kaca jendela yang harus di bersihkan dari sisa embun kering.
Dengen gesit aku mencari senjata pamungkas. Penghapus papan tulis yang siap menghantarkan uruaian gambar bel listrik dan serangkaian bentuk listrik lainnya ke dasar hafalan yang akan tertimbun dengan rumus aritmatika besok.
“Bu ketu!” aku berteriak, “Gue udah piket ya!” laporku kepada ketua piket hari Rabu. Ah, harinya pun aku masih mengingat.
“Woo! Curang lo! Piket gitu doang!”
Tak lagi ingin mendengar ocehannya, aku melejit, meninggalkan lantai tiga. Melesat agar tidak ketinggalkan mobil jemputan yang dengan seenak udelnya meninggalkan penumpang macamku. Yang selalu telat bangun dan telat pulang.
Benar saja, sopir jemputan sudah meninggalkanku. Membiarkanku akhirnya pulang dengan angkot. Panas-panasan dan berlama-lama. Seakan membiakranku berpacaraan dengan debu macet.
“Benggong aja!”
“Merana nih gue!”
“Curhat?”
“Iya! Gue lagi curhat! Gue di tinggalin mobil jemputan!” aku agak berteriak ke arahmu, lalu melotot seakan ingin menujukkan aku sedang marah.
“Yaudah, balik bareng gue yuk!”
“Tetep aja pake angkot, Gi.” Gerutuku lesu. Toh akhirnya juga mengikutimu.
**
Titiknya menetes perlahan.
Menyusuri lekuk seragamku, merembes, menyentuh lembut kulit di balik seragam. Dinginnya mulai menyeruak. Satu, sepuluh, lima puluh, ah, sudah berapa ratus air yang menghujamiku?
Dan aku melihatmu tersenyum tipis. “Gimana? Seger?”
Tanpa sadar aku mengangguk, membiarkan kali ini aku terlarut dalam dimensi ruang dan waktumu. Sejenak melupakan buku daam tas yang menjerit kebasahan.
Itulah kali pertama, aku bisa mengeja hujan. Dengan benar, dengan rasa, pun juga makna yang selalu sama. Tak lagi seperti ejaan anak TK.
“Gue duluan!”
“Eeeh tunggu!” aku berlari mengejarmu, menginjak setiap tapak miliku. Yang langsung di hapus hujan.
Diam-diam, aku terus mengejanya dalam hati. Mengangumi sendiri arti hujanku.
**
Mulanya gerimis, berangsur, berubah menjadi hujan. Deras, sangat deras, bahkan kau mengatakan rintiknya sebesar biji jangung.
“Neduh dulu, yuk. Dimana kek.” Kau berseru, sambil mengulurkan leher mencari tempat berteduh. Sampai akhirnya, kau menemukan sebuah emperan toko yang tutup untuk berteduh.
Aku menarik tanganku ke dalam hujan. Hujanku masih sama. Rasanya benar-benar de javu di luar tempat bimbel. Pun dengan tanganmu, kau juga tersenyum. Sama seperti waktu itu.
“Gue bawa payung. Em… mau pulang sekarang, atau nanti aja?”
Aku yakin tatapan mataku terlihat aneh, karena kau memalingkan wajah, dan tersenyum kikuk. “Em, maksudn—“
“Lo nggak mau hujan-hujanan?”
Melihatu terdiam cukup lama, aku menghela nafas. Membiarkanmu tetap dalam diam dan alasanmu. “Yaudah, ayo.”
Kau mengeluarkan payung itu dari dalam tasmu. Menyibaknya, membiarkanku masuk di sisi kiri payung.
Satu langkah. Dan aku berhenti. Ragu yang menganjal, menjegaku untuk tidak mengikutimu pulang sekarang. Ragu yang selama akan aku tahu kenapa. “Ayo.”
Akhirnya aku berjalan beriringan bersamamu. Membaui aroma tanah. Merasakan kubangan air. Bermain-main dengan dingin.
Sebelum…
Aku tidak mengingat dengan pasti, yang jelas, aku bisa mendengar decit ban dan licin jalan. Bunyi klakson juga jeritan.
Bumiku terasa berputar, terus, hitam sekilas. Hujan adalah yang terakhir.
Wajahmu, tubuhmu yang terpelanting. Hujan sama artinya tak bisa bertemu denganmu.
Bunyi gemeretak keras yang memusingkan. Hitam, dan hitam, juga aroma hujan yang tak lagi bisa kurasakan Berganti aroma darah dan aspal jalanan.
Hujan hanyalah kisah terakhir, kisah yang berakhir.
**
Sayang, bukan hujan dari bumi yang di berikan untuk melepasmu. Yang ada hujan air mata. Tetes pilu yang menyapa bumi kita, bukan air bisu yang menjadi saksi cerita.
Pandanganku perlahan menggelap. Badanku kaku, tak bisa bergerak. Lambat-laun terjatuh. Menyentuh aroma tanah kering. Ceritamu, ceritaku, terkubur diam-diam dalam isak tangis.
Sayang, hujan tak bisa menyaksikan tangis itu. Hujan akhirnya hanya menjadi saksi hari terakhir kita.
Aku tak lagi bisa mencengah, air mata akhirnya tetap juga terjatuh, walau dengna cepat kau usap. Dan tak ada lagi kawanan air mata lainnya.
Satu, dua langkah. Setelah ibuku menjauh, kau berjalan mendekat dan mengusap lembut nisanku. Tersenyum, dan berbisik.
“Sekarang, gue nggak perlu bawa payung dong? Nggak ada yang pake juga, berat-beratin tas gue doang, apalagi kalo nggak hujan. Atau, gue tetep bawa payung buat lo? Apa justru, gue harus pake payung? Menurut lo gimana?”
**
Aku berlari, mengikuti tapak kakimu. Menginjak tepat di jejak terakhirmu. Mendendangkan terus hujan. Membiarkan kau membawa payungmu tanpa kau gunakan. Berbasah-basahan.
Mengeja hujan berarti mengeja namamu.
Mengeja hujan berarti mengeja rasa
Mengeja hujan, sama saja mengeja arti cinta…
 **
Mungkin cerita yang kita miliki bukan karena hujan. Tak juga berakhir di bulan pahlawan. Tapi, entah kenapa, setiap merasakan hujan aku terbawa oleh sebuah kisah lalu.
Diam-diam, tapi terus kusimpan. Tanpa berharap untuk meleburnya dalam waktu.
Diam-diam, tapi terus kujaga. Tanpa pernah berpikir untuk di buang.
Diam, dan hanya itu.
Jejak Kecil, cerita tentang kita

Rabu, 04 Januari 2012

Karena Ini Yang Pertama - FF Icil


“Yo...” Rio menoleh dengan malas. “Ngeliatin siapa lo?” Tanya Alvin sambil mengikuti arah pandang Rio tadi.
“Apa?” Ujar Rio tidak mengerti.
Alvin mengangguk-angguk sok mengerti. “Nanti gue kasih tau deh sama orangnya. Kok lo nggak pernah cerita sih?”
Rio melongo sekilas. Apa sih maksud makhluk satu ini? Cerita apa? Kasih tau apa?
Udah jangan boong. Lo ngeliatin Shilla kan dari tadi...” Alvin pun langsung tersenyum cerah.
Rio? Dia sudah menggeleng maklum dengan kelakukan temannya yang sudah mencapai batas akut kegilaannya.
*
Rio tersenyum sendiri. Sebenarnya, tanpa sengaja ia menoleh ke arah tawa yang menjadi sumber deheman guru Sejarahnya. Siapa lagi kalau bukan Ify dan Shilla?
“Tuh... Benerkan apa kata gue, lo suka sama dia.” Celetuk Alvin lagi.
“Idih. Siapa sih yang suka? Elo kali.” Elak Rio yang lalu kembali menulis catatan di depan. Menatapi setiap tulisan rapi yang terukir di sana.
**
Pelajaran sejarah merupakan pelajaran paling memualkan diantara semua pelajaran. Lebih baik mengerjakan rumus phytagoras dan pembiasan lensa daripada harus menghafal tanggal-tanggal. Begitu menurut Rio.
Dan untuk kesekian kalinya, Rio harus dengan rela melewati jam pelajaran sejarah di kursi keempat dari depan, dengan barisan terpojok dekat pintu. Pemuda itu menghela napas panjang, menumpukkan kepalanya dengan satu tangan yang diletakkan di atas meja.
Masih sama. Ia memandangi dedaunan yang bertiup sepoi-sepoi diluar kelas. Angin itu melambai-lambai, bawa satu alunan yang menyerukan siapa pun untuk tidur. Tapi... Iris mata itu langsung membuat bibirnya tertarik ke atas.
Tawanya, diantara grasak-grusuk tidak jelas di kursi ketiga dari depan –tengah- barisan ketiga dari pintu. Lalu, tiba-tiba saja gadis itu menjatuhkan pulpen yang langsung ditertawakan temen sebangkunya.
Ada yang berbeda... Di sana... Atau... Di dalam sini?
**
Rio membanting tangganya ke udara kesal. Kenapa ia harus di ciptakan terlalu bodoh untuk pelajaran menghafal tanggal?
“Saya nggak tau, Bu. Tanya aja sama Ir. Soekarno kapan dia bikin PPKI sama rapat-rapatnya. Lahir aja saya belum.”
Begitulah kalimat yang dilontarkan Rio sangking kesalnya dengan tanggal-tanggal yang bahkan ia belum lahir. Jauh sebelum orangtua lahir malah.
“Empos lo!” Alvin tertawa terbahak begitu Rio tiba di kursinya. “Bego banget sih lo sama begituan.”
“Tau deh, yang dapet 90 terus kalo sejarah.” Dengus Rio kesal.
Untung saja ia duduk dengan Alvin yang benar-benar jago dengan hafalan huruf. Biologi maupun sejarah ia kuasai. Apalagi tentang segala macam jenis kedaulatan dan pasal-pasal. Setidaknya, itu membuatnya mendapat nilai 78 di kertas ulangannya.
“Eh, Yo.” Ujar Alvin setelah meredakan tawanya. Dia pun menunjuk seorang gadis dengan dagunya.
Rio menatapinya sekilas, “Apa sih?” Kali ini ia sudah benar-benar muak dengan ledekkan Alvin. Ah, gila saja hampir setiap hari ia dikatai seperti itu.
“Oh, atau jangan-jangan lo itu ngeliatin Ify?”
Rio semakin melotot, “Gue itu ngeliatin pohon. Udaah deh.”
“Udah lah. Boong banget.” Alvin menyengir lebar dan memukulkan pensilnya ke dahi Rio.
**
Jam istirahat pertama, Rio sudah ada di dalam kantin dengan sepiring gorengan lengkap dengan sambal kacangnya. Dengan lahap pemuda itu memasukkan potongan risol secara brutal.
“Eh, Yo. Nanti kita mau latihan...”
Alvin tersenyum jahil selagi Rio berbicara dengan anggota basket lainnya. Dengan sigap ia meraih risol dari piring Rio dan menyelipkan beberapa cabai utuh –yang memang tersedia bersama dengan sambal- kedalannya, lantas mengambalikkan ke tempat semula.
“Iye.” Sahut Rio lansung meraih risol itu. Melahap setiap potongan risol terakhirnya. Sebelum... “ANJRIT!” Dia mengibaskan tangannya di depan mulutnya yang menganga lebar.
“PEDES!” Dia langsung meraih gelas es tehnya, menyedot sedalam-dalamnya sebelum tersadar karena teriakkan Alvin, “itu gelas kosong, bego.”
Rio lansung berlari menuju salah satu los di sana, mengambil selembar uang lima ribuan dan meraih gelas plastik itu. SROT...
Setelah menghabiskan tiga teh hangat, Rio berjalan menuju bangkunya tadi. Tapi, seseorang tiba-tiba saja berbalik, dengan sukarela air dingin itu menumpahi kemeja putih Rio.
“Aduh... Sorry banget, Yo.” Ujar gadis itu yang langsung mengambil tissue dari dalam sakunya, menyodorkan kepada pemuda itu. “Maaf, Yo.” Ujarnya sekali lagi.
Rio meraih tissue itu kasar. Sial benar hari ini dia. “Iye.” Ujarnya yang lalu mengalihkan pandangannya dari kemeja ke gadis  dihadapannya itu.
Terdiam.
“Gue kekelas duluan,” ujar gadis itu dan berlalu.
Mata itu...
**
“Ecie... Diliatin terus. Dua-duanya jangan diembat dong, Yo. Satu buat gue. Mana aja, yang satu manis, yang satu cantik ini.”
Benar-benar si Alvin ini. Sebegitu salah pahamkan temannya ini? Ia hanya melihat keluar jendela. Perlu di eja? Tidak perlulah, kan dia bukan anak TK lagi.
“Lo itu... Gue udah bilang...”
“Ya... Ya... Ya... Lo pilih yang mana? Gue Ify aja, lo Shilla.” Saran Alvin yang kali ini sdah mencapai batas normal, “Entar kan kalo lo pacaran, gue ikutan, ngerecokin gitu, terus minta Shilla jadi mak comblang gue sama Ify. Entar kalo lo nggak suka sama Shilla, dan gue udah pacaran sama Ify, putusin juga nggak pa-pa.”
PLETAK.
Sebuah penggaris elastis baru saja mendarat di atas kepala Alvin, “Itu sih namanya lo manfaatin gue sama Shilla. Ogah, umur lo berapa sih? Baru juga 14, belagak pacaran.”
Alvin mengusap kepalanya, dan membalas dengan pulpen, “Ah, sok-sokan lo. Mau juga itu sebenernya.”
“Apaan sih lo, Vin... Amit. Gede juga belom.”
“Iya apa?” Suaranya kali ini benar-benar terdengar ‘nyolot’ sangat-sangat. “Udah kumisan aja lo.”
Rio meraba hidung bagian bawahanya, “Eh, jangan bahas kumis, tipis gini doang. Elo noh, udah jerawatan.”
“Mana? Sorry ye, muka ane bersih, tanpa jerawat, noda-noda hitam, kantung mata, dan yang pasti BELUM ADA KUMIS!” Ujar Alvin penuh penekanan.
“Emang kalo ada kumis udah pasti dewasa gitu? Enggak kali, dewasa itu diliat dari sikap.”
Alvin bertepuk tangannya kegirangan. Kali ini sudah mencapai batas maksimum kegilaan akutnya, “Gile, belajar sama engkong siapa lo bisa gitu ngomongnya?”
Rio memukul keningnya, berganti memukul kening Alvin, “Biar lo ketularan waras, pinter, ganteng, manis, baik kayak gue.”
Seketika itu juga Alvin berlagak muntah, “Udah bereaksi nih.” Kali ini ia memgangi perutnya. “Tapi kayaknya nggak mempan, gue lebih piter, waras, ganteng, manis, baik hati, tidak sombong, rajin menabung daripada elo.” Alvin pun duduk tegap setelahnya dan meyengir lebar.
“Itu sih namanya gila. Alvin... Alvin...”
**
“Jadikan, Vin?” Tanya Rio memastikan sambil sibuk menjejalkan buku Geografi –mata pelajaran jam terakhir- kedalam ransel hitamnya.
Alvin menggauk dan meraih pensil mekanik yang baru saja jatuh di bawah kursinya. “Barengan Ray, yak?”
“Nyamper ke 8-4 dulu dong?” Ujar Rio yang langsung menggunakan ransel hitammnya.
“He’eh. Udah nyok!”
Mereke pun keluar kelas dan menghampiri kelas di sebalah kanan kelas mereka itu. “Ray mana nih?”
Baru suka di bicarakan, Ray tiba-tiba saja kepala Ray muncul dari jendela samping tempat mereka menunggu. “Ray di sini! Hehe...”
“Amit lo Ray. Kayak Sadako.” Alvin pun mengusap dadanya.
“Lebay kaget lo, Vin. Gue keluar dulu!”
Mereka pun berjalan menuju tempat parkir –lebih tepatnya tempat parkir sepeda- dengan bercoleh tak jelas seperti biasanya. Setibanya di sana, Ray langsung mengeluarkan sepedanya. “Vin, ikut siapa lo?”
“Rio aja, lah! Kuat apa lo, badan kecil aja belagak ngasih tumpangan.” Alvin pun langsung berdiri di bagian belakang sepda Rio.
“Udah, bilang aja lo mau mersa-mersaan sama Rio.” Ledek Ray sambil mengibaskan kelima jarinya, seolah jijik dengan kata yang baru saja ia lontarkan.
Alvin memeletkan lidahnya, “Ngomong aja nggak becus, ngatain orang lo. MESRA. Es nya duluan baru er.”
“Udah, Ray kan nggak lulus TK.” Celetuk Rio yang langsung mengayuh pedal sepedanya.

“Vin, temenin gue ke komik-komik yuk!” Tanpa ba-bi-bu lagi Rio menarik tangan itu menuju rak yang terletak di dekat kasir itu.
“Eh...”
“Eh-eh-eh aja lo,” gerutu Rio sambil terus menarik tangan itu.
Kok, tangganya alus begini ya? Putih sih Alvin, tapi nggak begini juga kali kulitnya. Batinnya sendiri.
Rio berhenti sebelum tiba di tempat tujuannya. Firasatnya buruk. Jangan-jangan... “Eh,” sontak Rio melepaskan genggamannya. Dia menatap mata itu perlahan, hanya dalam hitungan persekian detik.
Setelahnya, pemuda itu membuang wajahnya dan menggaruk telinganya. “Sorry... Nggak sengaja. Yaudah, gue... Ke sana dulu...”
Mata itu. Sama seperti yang di kantin. Gadis itu....
“Weits dah, bro. Pendekatan berhasil nih? Ampe pegangan begitu. Katanya belum gede, belum dewasa.” Ledek Alvin saat melihat potongan adegan itu.
Rio membuang wajahnya. “Berisik banget sih lo, Vin.” Rio pun meraih sebuah komik dari rak itu. Membaca –atau lebih tepatnya berpura-pura membaca- sinopsis.
“Ada apa nih? Berisik banget. Ada alien yang dateng ke bumi?” Ray yang baru saja datang pun langsung memperkeruh suasana dengan ucapan ngawur.
“Itu, si Rio, habis pegangan tangna sama Shilla.” Alvin menaik turunkan alisnya. “Gila kan pdktnya?”
Ray berdeca samil bergeleng dramatis. “keren, tinggal tunggu tanggal main aj aini sih.”
“Eh, Naruto 51 udah keluar nih.” Rio mengacungkan sebuah buku sedang itu di depan mata Ray.
Ray menampik buku itu, “Mengalihkan pembicaraan lo.”
“Heh? Kagak! Beneran ini, nggak liat?” Sekali lagi Rio menyodorkan buku itu tepat di depan wajah Ray.
“Ngek! Kucing noh terbang. Salting aja lo.”
**
Pembagian kelompok Sejarah. Sejarah?!
Kertas gulungan itu mulai dibuka satu persatu dan Ify –sebagai sekertaris kedua- menuliskan nama-nama itu di bawah nama kelompok mereka nantinya.
Rio bergerak gusar di kurisnya. Namanya tak kunjung muncul di klompok manapun. Padahal tinggal delapan orang lagi.
“Ashilla, kelompok 3,” ujar Acha –sekertaris pertama.
Rio menelan ludahnya sendiri. Ia pun memejamkan matanya. Entahlah, ia akan merasa lebih baik jika harus seperti itu. “Nah, sekarang pembagian pokok bahasan setiap kelompok.” Suara gurunya itu pun langsung di tanggapi dengan membukanya kelopak mata Rio.
“Gue... Kelompok 5, Vin?” Ujar Rio memastikan. Memastikan penglihatannya dan... Perasaannya?
“He’eh, kenapa lo? Terserang rabun mendadak?”
Rio mendengus. Melengkapi segala yang retak menjadi benar-benar lebur. “Enak aja lo, mata gue masih sehat, emang elo yang udah tua.”
Alvin menaikkan kaca matanya mengejek, “Yang penting ganteng ini.”
“Pale lo.” Sahut Rio tidak terima. “Ganteng kalo lo nyebur sumur maut, diliat pake sedotan.” Ujar Rio sambil membawa-bawa sumur kecil yang dulu digunakan untuk mengubur ketujuh jenderal indonesia pada masa penjajahan itu.
Setelahnya, Rio menghela napas panajng sendiri. Sesak itu datang perlahan-lahan tanpa ia tahu. Rasanya...
**
Dengan satu hentakkan, Rio membuka pintu kamarnya secara brutal. Melempar ransel hitamnya sembarangan yang kini entah mendarat dimana. Yang lalu disusul oleh deheman ranjang karena dirinya baru saja dijatuhkan di atasnya.
Dia menggulingkan badannya menghadap tembok yang ada disebelah kiri ranjangnya. Menatapi tembok biru itu. Membayangkan sebuah... Senyuman?
“Kenapa sih gue? Kok jadi sewot sendiri?” Rio pun bangkit dan berpindah duduk di tepian ranjang. “Apa gue... Kesel?”
**
Bodohnya, ia harus telat karena bangun kesiangan. Seperti inilah murid yang menyepelekan jarak rumah dan sekolah. Berkata bahwa ‘lima menit juga nyampe’ dengna santai. Pada nyatanya pun harus membutuhkan waktu sepuluh menit untuk tiba.
Setelah meletakkan tas dikelas, Rio langsung turun kelapangan. Untung saja jam pertama adalah olahraga, jika tidak ia harus pergi ke guru piket untuk meminta surat masuk kelas karena telat.
“Maaf, Pak, telat.”
Rio segera menoleh ke sumber suara itu. Shilla?
“Ecie... Barengan...” Seru Alvin dari barisan palign belakang. Dengan komando itu pun, anak-anak mulai bersorak-sorai. “Ecie.. PJ dong,” “Ea... Pasangan baru,” “Pajak woi!” “Kapan jadiannya nih?”
Dan itu semua cukup membuat Rio salah tingkah sendiri. Di apun langsung memasuki abrisan dan mendengarkan gurunya bercuap-cuap ria tentang kemenangan Gabriel dalam O2SN kemarin.

Rio mengibaskan bagian depan kaos olahraganya, berharap dengan begitu ada sedikit udara sejuk yang menyertainya.
“Panas gila!” Rio pun langsung duduk di samping Alvin.
“Lah, elo, habis lari 1 km, langsung main basket, gimana nggak capek?”
Rio hanya diam. Menatapi koridor aula yang kini sudah penuh dengan anak-anak perempuan yang berteduh di bawah pohon rindang yang terdapat di depannya.
Satu persatu keringat itu mengucur dari ujung anak-anak rambutnya, dalam balutan seragam putih biru –seragam olahraga- gadis itu lebih terlihat simpel dari pada di balik balutan seragam putih-putih dengan vest biru seperti biasa.
Tapi, mau bagaimana pun, gadis itu selalu terlihat cantik.
“weits, ngelamunin Shilla dia!” Seru Alvin yang membuat jantung Rio lompat seketika karena teriakkan barusan.
“Siapa sih, Vin? Sok tau banget sih lo?”
Alvin tertawa terbahak melihat wajah Rio yang penuh dengna keringat memerah. “Ngaku aja lo.”
**
Rio kembali seperti biasa, dan kini ia memang benar-benar menatapi gadis itu. Bukan lagi menatapi semilir angin yang menggelitik.
“Ngliatin Shilla lo? Asek...” Ledek Alvin lagi.
Pemuda itu hanya diam. Tidak menanggapi ledekkan Alvin seperti hari-hari sebelumnya.
“Eh, mana?” Tanggan Acha sudah menjulur ke depan wajahnya, meminta buku tugas yang dikumpulkan secara estafet kedepan.
Rio meraih pulpen tanpa sadar, mencoret secara perlahan-lahan yang lalu menjadi sedikit kasar. “kenapa lo, yo?”
Rio melakukan finishing dengan menekan pulpennya. “Nggak.”
Sedangkan di lain tempat, Gabriel tertawa terbahak bersama Shilla dan Ify. Hah? Ini penyebab amukan Rio barusan? Lantas, apakah Rio menyukai shilla?
“Buku, Yo!” Seru Acha yang sudah mulai kesal karena Rio tidak kunjung menyerahkan bukunya.
Alvin tertawa terbahak saat membuka sampul buku yang Rio coret-coret tadi. “Alvin!” Seru Guru sejarah itu dengna sangar, suara bahkan bisa melebihi sepuluh toa masjid.
“Aduh.. Itu... Si... Rio... Nyoret-nyoret bukunya...” Dan ia kembali tertawa lagi sekeras-kerasnya.
“MaRio? Kamu itu, sudah telat mengumpulkan tugas, selalu dapat nilai dibawah KKM, bikin ribut. Lengkap.”
“Itu gara-gara cemburu liat Shilla sama Gabriel bu!” Seru Alvin lagi.
Sontak, anak-anak mulai lagi dengan paduan suaranya. Sedangkan ia hanya bisa menggeram karena kelakukuan Alvin. Dasar.
**
Malam itu –malam minggu- Alvin, Rio dan Ray sudah bersiap tempur di rumah Alvin. Mereka akan menginap dan menghabiskan waktu semalam suntuk untuk bermain game, mencela satu sama lain, berteriak, dan yah, sesi saling memojokkan.
Rio menelentangkan tubuhnya dia atas karpet bergambarkan lambang liverpool itu. Begitu jug Alvin yang lalu mengikuti langkah Rio.
Tanpa Rio sadari, Rio berguling ke kanan dimana ada Alvin yang sedang posisi menghadap kiri. Dan... Ujung hidung mereka saling bertemu, “ANJRIT! Masih normal gue, YO!” Seru Alvin yang langsung bangun dari tidurnya.
“Ah, siapa juga yang mau sama lo!” Rio langsung bergidik sendiri. Dia masih benar-benar normal. Masih suka perempuan.
Ray yang sedang tidur-tiduran di kasur Alvin langsung tertawa terbahak-bahak melihat adegan itu. “Wa... Parah lo, Yo! Ternyata MAHO sejati!”
Rio mengusap wajahnya dengan satu tangan. “Gue masih normal. Alvin aja noh!”
“Eh, enak aja! Elo taid yang tiba-tiba miring begitu! Lagian gue masih suka sama cewek!” Balas Alvin sewot sendiri.
“Waah... Rio... Parah... Ternyata...” Ray mengacungkan telunjuknya dan digoyang-goyangkan.
“Eh, Enggak!” Pemuda itu panik sendiri. Padahal hal seperti itu sudah sering terjadi diantara mereka bertiga, saling meledek tanpa ada bukti nyata yang jelas.
“Lengkap ternyata, kemahoan lo.” Ray bergeleng sendiri.
“Maksud lo?!” Rio memajukkan bibirnya.
“Eh, lo berdua itu kemana-mana bareng, naik sepeda boncengan, kantin bareng, kelompok bebas pasti satu kelompok. Kurang apa coba?”
Alvin melotot kesal, tanpa sadar perkataan itu termasuk menuduh dirinya. “Eh, gue suka cewek sorry ya, gue masih suka Ify!”
“Nah, dia normal, lah elo?” Ray menunjuk Rio.
Rio gelagapan sendiri. “heh? Apa deh!” Dan hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya.
Ledekkan pun semakin menjadi-jadi. Membuat Rio mengerucutkan bibir semakin panjang. “Orang gue suka Shilla...” Lirihnya sendiri. Takut kalau-kalau itu adalah kalimat yang tidak seharusnya ia katakan. Karena pada dasarnya masih ada keraguan di sana, ini adalah kali pertamanya menemukan desiran itu. Jauh di dalam lubuk hatinya.
Alvin berhenti tertawa, sedangkan Ray masih terbahak. “Apa? Shilla?”
Rio terbelalak sendiri. Apa ucapannya tadi? Apakah menyinggung shilla? Tidak. Apakah Alvin mendengarnya?
“Lo suka Shilla?” Ulang Alvin untuk memperjelas kalimatnya barusan. Membuat Ray berhenti tertawa dan menaik turunkan alisnya.
Rio semakin panik. Dia mulai menggaruk belakang telinganya. “sejak kapan?”
“bener Yo?” Tanya Ray yang lalu berpindah duduk di sebelah Rio. “Nggak mau sama Ray lagi nih?”
Ray memajukkan bibirnya hendak ‘menyosor’ Rio ala tante girang. “GUE MASIH WARAS!”
“Apa buktinya?” Tanya Ray yang masih dalam posisinya.
“Gue...”
Ray semakin memajukkan tubuhnya, astaga. Sebenarnya siapa yang tidak normal, Rio atau Ray?
“Cepet, yo!” Paksa Alvin yang lalu menarik kaki Rio supaya tidak bisa menggelak dari kecupan ‘maut’ Ray.
“GUE SUKA SHILLA!” Teriak Rio lantang. Tnapa ada keraguan yang menyelimuti. Membiarkan hatinya mempercayai hal itu.
Alvin tertawa terbahak, Ray sudah berguling di karpet. Memegangi perutnya yang sudah tidak tahan melihat wajah Rio yang hendak ia kerjai tadi.
Rio mendengus sendiri. Menyadari ia hanya dikerjai oleh dua makhluk setengah tak waras itu. Ia pun hanya menggerutu pelan.
“Santai, Yo. Itu hal biasa buat anak labil kayak kita. Hehehe...” Ujar Alvin sambil memekul pelan bahu sahabatnya itu.
**
Karena pada dasarnya, rasa suka, cinta, sayang, hanyalah hal sederhana yang terjadi. Hal yang di miliki setiap orang. Yang lalu mereka buat istimewa oleh cara mereka masing-masing.
Segalanya tidak harus berawal dari benci, atau dari kejadian di masa lalu. Tapi, rasa itu bisa tumbuh karena ketidaksengajaan. Karena kekonyolan dan kedekatan tersendiri. Dan setiap orang selalu memiliki caranya masing-masing untuk menemukan keberadaannya.
Lantas, apa kau sudah menemukan rasa itu? Dengan cara apa?