.....Kau mengeluarkan payung itu dari dalam tasmu. Menyibaknya, membiarkanku masuk di sisi kiri payung.
Satu langkah. Dan aku berhenti. Ragu yang menganjal, menjegaku untuk tidak mengikutimu pulang sekarang. Ragu yang selama akan aku tahu kenapa. “Ayo.”
Akhirnya aku berjalan beriringan bersamamu. Membaui aroma tanah. Merasakan kubangan air. Bermain-main dengan dingin.
Sebelum…
** ** ** **
“Riaaaaan!”
“Nama gue Giaaaaaan!”
Sudah berapa kali kau mengatakan kata-kata itu. Membenarkan namamu yang selalu salah aku sebut. Nama yang entah kenapa terlalu sulit untuk kuhafal. Entah, padahal kita sudah berteman tujuh bulan belakangan. Lucu ya?
“Kenapa?” kau menyahut ketus saat aku mulai mendekat.
“Mau pinjem payung.” Aku mengulurkan tanganku, memintamu untuk mengeluarkan peneduh yang selalu saja nganggur di tasmu.
Lantas, kau mengulurkan payung lipat biru. Lagi, mengeluarkan kata-kata yang sama setiap aku meminjam payungmu. “Jangan dibalikin, males gue kalo nanti lo yang pinjem-pinjem lagi.”
Mungkin semuanya memang sudah tersetting seperti ini, maka aku menjawab. “Idiiih, berat tau bawa-bawa payung. Apalagi kalo nggak hujan, berat-beratin tas doang.”
Aku menyambar payung itu, berlari kecil menuju ujung koridor. Membiarkanmu nanti pulang berbasah-basahan. Bermandikan air hujan.
**
“Yah, hujan lagi.” Aku menggerutu, saat aku baru saja keluar dari gedung bimbel. Mengulurkan jari-jariku untuk merasakan hjan yang baru saja turun ini. Setelah musim kemarau panjang.
Kala tetesan air itu menggelitik telapak tanganku, sebuah tangan lagi menjulur. Tangan dengan permukaan kasar. Menari pelan di bawah naungan panggung hujan.
Kau menoleh, tersenyum tipis, “Panas salah, hujan tambah salah. Dasar manusia.”
“Yaa, mendung-mendung dikit kan bisa.”
Beberapa jenak diam. Tak lagi mampu berbicara lebih jauh tentang percakapan singkat di bawah hujan ini. Membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Dalam hujan, juga dalam kesunyian.
**
Aku melompat pelan, iseng dengan kubayangan kecoklatan yang menggenang di lubang itu. Membuat cipratan air menari-nari di sekeliling pusat getaran.
“Kayak anak kecil lo.”
Aku menoleh, mendapatkan dirimu dengan rambut basah dan seragam putih yang kuyu. Juga celana biru panjang yang berubah warna menjadi lebih gelap.
Pun aku menginjak kubangan itu, membuatmu berlarian kecil sambil menjerit. Matamu yang sipit dipaksa melotot yang hasilnya justru gagal total. “Jorok lo!”
“Lo lebih jorok! Mandi hujan!” aku menyanggah, membuatmu terbahak pelan dan mengambil alih payungmu. “Eeeh!”
**
“Terus, kenapa lo belum pulang?” Akhirnya kidung hujan di gantikan suaramu yang temaram. Membiarkan sedikit kata untuk menghangatkan dingin.
Aku menarik tanganku, mengelapnya ke tas. “Kan hujan. Gimana sih?”
Bunyi ‘sreeet’ tersengar cepat, membiarkan tanganmu menggeledah ransel biru. Mengobrak-abrik isinya. Dan mengulurkan sebuah payung yang masih sama.
Ah, memori yang sudah lama. Awal dari ritual hujan pulang sekolah kita berawal dari sini, kan?
“Pake nih. Biar lo bisa pulang.”
“Lo ngusir gue?”
“Mau nggak?”
**
Mengeja hujan tak semudah yang di lakukan anak TK. Tak segampang menuliskan alfabetnya. Mengeja hujan seperti menguraikan cerita lama. Membuatku harus kembali membuka lembaran-lembaran cerita yang sudah menua.
Memaksaku mencari-cari apa yang sudah lama. Lama untuk dilupakan, lama untuk dibiarkan, lama untuk dipadamkan.
Karenanya, aku tak pernah bisa mengeja hujan seperti kala itu. Membiakran lidahku kelu untuk menyebut katanya. Menyebut dengan nada dan irama yang sama. Maka, biarkan aku menyebut hujanku dalam asa saja. Berharap angin mampu menghantarkannya untukmu.
**
Sedikit berpikir lama, aku menerima payung biru itu. Sekilas tak ada yang berbeda memang. Namun, setelah sekian lama nantinya. Aku baru tahu, ada yang berbeda dari payung itu.
“Lo tadi pagi bawa jaket, kan? Di pake sabi lika.”
“Oh iya! Lupa!”
Setelahnya, kau menatapku sambil tersenyum, “Yaudah sana, pulang. Nanti tambah deres.”
Menuruti perkataanmu, aku membuka payungmu, menedengi kepalaku dengan plastic bersanggah besi. Yang tanpa kuingat, kenapa aku tidak pernah mananyakan, kenapa kau bersedia meminjamkan payungmu kepadaku, pun setelah-setelahnya, bahkan hingga payung terakhir itu…
**
giantf Hujanku selalu sama, tidak berubah dan tidak bisa di rubah
Kau masih ingat dengan tweetmu yang satu itu? Yang kau tulis begitu aku pulang dari tempat bimbel. Setelah aku melipat payungmu.
Yang kini akan kubantah keras. Kau mungkin beranggapan hujanmu selalu sama. Tapi karena hujanmu, aku selalu memandang hujan dengan cara yang lain, cara yang berbeda. Dan hujanku sudah berubah, tak seperti pertama.
Satu lagi pertanyaan yang melayang dan akan terus menjadi tanda tanya. Terkuak lagi setelah aku membongkar lembaran tentang hujanmu.
Sepele memang, namun ini pertanyaanku :
Masihkah hujanmu sama seperti dulu?
**
“Se-lamat Si-aaaaang Buuu!” koor seperti anak TK itu mampu membuat hati siapapun terbang melejit karena satu lagi hari yang melelahkan berakhir.
Sialnya saja, hari lelah ini baru berakhir sekitar setengah jam lagi untukku. Masih ada lantai kelas yang siap untuk di sapu, kaca jendela yang harus di bersihkan dari sisa embun kering.
Dengen gesit aku mencari senjata pamungkas. Penghapus papan tulis yang siap menghantarkan uruaian gambar bel listrik dan serangkaian bentuk listrik lainnya ke dasar hafalan yang akan tertimbun dengan rumus aritmatika besok.
“Bu ketu!” aku berteriak, “Gue udah piket ya!” laporku kepada ketua piket hari Rabu. Ah, harinya pun aku masih mengingat.
“Woo! Curang lo! Piket gitu doang!”
Tak lagi ingin mendengar ocehannya, aku melejit, meninggalkan lantai tiga. Melesat agar tidak ketinggalkan mobil jemputan yang dengan seenak udelnya meninggalkan penumpang macamku. Yang selalu telat bangun dan telat pulang.
Benar saja, sopir jemputan sudah meninggalkanku. Membiarkanku akhirnya pulang dengan angkot. Panas-panasan dan berlama-lama. Seakan membiakranku berpacaraan dengan debu macet.
“Benggong aja!”
“Merana nih gue!”
“Curhat?”
“Iya! Gue lagi curhat! Gue di tinggalin mobil jemputan!” aku agak berteriak ke arahmu, lalu melotot seakan ingin menujukkan aku sedang marah.
“Yaudah, balik bareng gue yuk!”
“Tetep aja pake angkot, Gi.” Gerutuku lesu. Toh akhirnya juga mengikutimu.
**
Titiknya menetes perlahan.
Menyusuri lekuk seragamku, merembes, menyentuh lembut kulit di balik seragam. Dinginnya mulai menyeruak. Satu, sepuluh, lima puluh, ah, sudah berapa ratus air yang menghujamiku?
Dan aku melihatmu tersenyum tipis. “Gimana? Seger?”
Tanpa sadar aku mengangguk, membiarkan kali ini aku terlarut dalam dimensi ruang dan waktumu. Sejenak melupakan buku daam tas yang menjerit kebasahan.
Itulah kali pertama, aku bisa mengeja hujan. Dengan benar, dengan rasa, pun juga makna yang selalu sama. Tak lagi seperti ejaan anak TK.
“Gue duluan!”
“Eeeh tunggu!” aku berlari mengejarmu, menginjak setiap tapak miliku. Yang langsung di hapus hujan.
Diam-diam, aku terus mengejanya dalam hati. Mengangumi sendiri arti hujanku.
**
Mulanya gerimis, berangsur, berubah menjadi hujan. Deras, sangat deras, bahkan kau mengatakan rintiknya sebesar biji jangung.
“Neduh dulu, yuk. Dimana kek.” Kau berseru, sambil mengulurkan leher mencari tempat berteduh. Sampai akhirnya, kau menemukan sebuah emperan toko yang tutup untuk berteduh.
Aku menarik tanganku ke dalam hujan. Hujanku masih sama. Rasanya benar-benar de javu di luar tempat bimbel. Pun dengan tanganmu, kau juga tersenyum. Sama seperti waktu itu.
“Gue bawa payung. Em… mau pulang sekarang, atau nanti aja?”
Aku yakin tatapan mataku terlihat aneh, karena kau memalingkan wajah, dan tersenyum kikuk. “Em, maksudn—“
“Lo nggak mau hujan-hujanan?”
Melihatu terdiam cukup lama, aku menghela nafas. Membiarkanmu tetap dalam diam dan alasanmu. “Yaudah, ayo.”
Kau mengeluarkan payung itu dari dalam tasmu. Menyibaknya, membiarkanku masuk di sisi kiri payung.
Satu langkah. Dan aku berhenti. Ragu yang menganjal, menjegaku untuk tidak mengikutimu pulang sekarang. Ragu yang selama akan aku tahu kenapa. “Ayo.”
Akhirnya aku berjalan beriringan bersamamu. Membaui aroma tanah. Merasakan kubangan air. Bermain-main dengan dingin.
Sebelum…
Aku tidak mengingat dengan pasti, yang jelas, aku bisa mendengar decit ban dan licin jalan. Bunyi klakson juga jeritan.
Bumiku terasa berputar, terus, hitam sekilas. Hujan adalah yang terakhir.
Wajahmu, tubuhmu yang terpelanting. Hujan sama artinya tak bisa bertemu denganmu.
Bunyi gemeretak keras yang memusingkan. Hitam, dan hitam, juga aroma hujan yang tak lagi bisa kurasakan Berganti aroma darah dan aspal jalanan.
Hujan hanyalah kisah terakhir, kisah yang berakhir.
**
Sayang, bukan hujan dari bumi yang di berikan untuk melepasmu. Yang ada hujan air mata. Tetes pilu yang menyapa bumi kita, bukan air bisu yang menjadi saksi cerita.
Pandanganku perlahan menggelap. Badanku kaku, tak bisa bergerak. Lambat-laun terjatuh. Menyentuh aroma tanah kering. Ceritamu, ceritaku, terkubur diam-diam dalam isak tangis.
Sayang, hujan tak bisa menyaksikan tangis itu. Hujan akhirnya hanya menjadi saksi hari terakhir kita.
Aku tak lagi bisa mencengah, air mata akhirnya tetap juga terjatuh, walau dengna cepat kau usap. Dan tak ada lagi kawanan air mata lainnya.
Satu, dua langkah. Setelah ibuku menjauh, kau berjalan mendekat dan mengusap lembut nisanku. Tersenyum, dan berbisik.
“Sekarang, gue nggak perlu bawa payung dong? Nggak ada yang pake juga, berat-beratin tas gue doang, apalagi kalo nggak hujan. Atau, gue tetep bawa payung buat lo? Apa justru, gue harus pake payung? Menurut lo gimana?”
**
Aku berlari, mengikuti tapak kakimu. Menginjak tepat di jejak terakhirmu. Mendendangkan terus hujan. Membiarkan kau membawa payungmu tanpa kau gunakan. Berbasah-basahan.
Mengeja hujan berarti mengeja namamu.
Mengeja hujan berarti mengeja rasa
Mengeja hujan, sama saja mengeja arti cinta…
**
Mungkin cerita yang kita miliki bukan karena hujan. Tak juga berakhir di bulan pahlawan. Tapi, entah kenapa, setiap merasakan hujan aku terbawa oleh sebuah kisah lalu.
Diam-diam, tapi terus kusimpan. Tanpa berharap untuk meleburnya dalam waktu.
Diam-diam, tapi terus kujaga. Tanpa pernah berpikir untuk di buang.
Diam, dan hanya itu.
Jejak Kecil, cerita tentang kita
ini pertama kali gue komen gil wkwk. cerpennya bagus hehe
BalasHapus