Selasa, 05 November 2013

Fanfic JKT48 - Aku Tidak Melihat Matahari Senja

Ketika langit berubah menjadi gelap dan matahari sudah pulang keperaduan garis horizon. Memantulkan sedikit sinar dari matahari, bulan terlihat redup di balik awan keabu-abuan. Bercampur dengan jingga warna lampu jalanan, Jakarta indah ya?

Selasa, 17 September 2013

Minggu Ini

Sebenernya lagi mau nulis banyak
Atau mau curhat –secara utuh
Tapi gak tau kenapa, teman tetap harus ngurusin urusan pribadinya juga kan?
Jadinya... ya, gak bisa egois

Minggu, 30 Juni 2013

Fanfiction JKT48 - Burung-Burung Kertas

Burung-Burung Kertas

Awan-awan berarak membelah langit senja. Membiarkan warnanya yang putih bersih sedikit tercemar warna kekuningan yang begitu hangat. Kenapa malam harus disambut orkestra yang begitu mengagumkan?
Senja adalah perpisahan. Perpisahan yang begitu mengagumkan diujung manisnya harapan karena pertemuan. Kemudian pelan-pelan senja itu akan menghilang, dan benar-benar menjadi perpisahan seutuhnya. Yang tidak akan menemui matahari di cakrawala.

Kinal menepi di ujung jendela, menghadiri pekarangan depan rumahnya. Sayang ya, jendela ini membelakangi matahari tenggelam. Tapi bukankah lebih baik kita tidak melihat perpisahan?
Kusen kayu berwarna putih itu ia remas kuat-kuat. Warna langit sudah mulai berubah menjadi merah-kebiruan yang begitu tua. Ah, sudah harus berpisah sekarang ya?
Jarinya bergetar pelan, menarik tali tipis yang berbandul punggung burung kertas hitam. Lantas tangannya yang lain menyusuri jendela. Membiarkan ujung tali yang satunya tercantol di jendela.

Burung kertas itu bergoyang-goyang, terlihat seperti siluet. Siluet burung kertas hitam, burung kertas hitam dengan latar langit yang membelakangi senja.
Langkah kaki Kinal mulai mundur. Memutar kursi meja belajar, hanya untuk mendapatkan view burung kertasnya. Menyadari matahari sudah benar-benar tertelan di bagian barat sana.

Sudah malam.

**

Sudah dua hari ini Kinal di rawat di rumah sakit. Sebenarnya tidak ada alasan yang begitu kuat kenapa ia harus melakukan rawat inap, setidaknya itu menurut pemikirannya sendiri. Siapa sih yang mau dirawat di rumah sakit terus makan makanan tawar begitu?
“Adoooh.” Kinal mulai rempong kalau sudah tengah hari begini. Pantatnya sudah panas kalau harus duduk sendirian disini. Nyaris 2 x 24! Duduk, tiduran, duduk lagi. 48 jam! 48! 2 hari! Bayangkaaaan!
Makanya sekarang ia sudah berjalan menuju lobi lantai 4. Berdiri di retori pembatas koridor rawat. Lagi-lagi, ia melihat dengan jelas gadis itu duduk di sofa terujung. Sendirian seperti kemarin-kemarin.

“Hai.” Gadis itu mendongak begitu mendapati seorang dengan seragam rumah sakit berdiri dihadapannya. “Err... Boleh... Gabung, gak. Ehm...?”
“Frieska.” Sahutnya pelan.
“Yah, emm. Kenalin, Kinal.” Kinal mengulurkan tangannya, sebenarnya takut juga tidak dibalas. Lah, orangnya aja cuek begini. Arrrgggh, salah cari kenalan!
Tanpa diduga, Frieska menyambut uluran tangan Kinal dengan hangat. Senyum tipis yang begitu memabukkan itu menghapus keraguan Kinal seketika. “Hm. Aku Frieska. Salam kenal, Kinal.”

**

Sudah dua jam sejak kakaknya pergi keluar, katanya sih mau makan siang. Mungkin dia makan siang di neptunus kali, lama banget habisnya. Jenuh juga ‘kan lagi-lagi ditinggal sendirian.
Kinal bangkit dari tidurnya, menyambar iPod dan headset dari nakas. Clek. Ia mendorong pintu. Tepat ketika matanya menyusuri bagian kanan koridor yang berujung di sebuah jendela yang cukup besar. Seseorang berdiri disana, memainkan sebuah origami yang tidak begitu jelas di mata Kinal.

“Frieesssskaaaa. Oy! Oy! Oy! Lagi ngapain?”

Frieska tidak menoleh, ia hanya menghentikan gerakkannya. Membuat Kinal jadi serba-salah sendiri. “Err... ganggu ya? Ganggu banget?”
“Enggak. Cuma kaget doang.”
Kinal pun mengambil tempat di samping Frieska. Ikut menatapi lapangan parkir rumah sakit yang besar. “Udah makan belom?” Kinal lagi-lagi yang membuka percakapan. Gatel juga tau mulut, ada temen ngobrol tapi malah diem-dieman.
“Tuh, belum habis. Bosen sih. Kamu?”

Dahinya otomatis berkerut-kerut, hanya melihat sebuah botol berisikan setengah... emm, sepertinya jus. Ya ampun, sebodoh-bodohnya Kinal dengan sandi rumput atau semapore tapi dia masih mengerti isyarat mata yang melirik itu kan?
“Ikh. Nggak baik lagi sakit bukannya makan nasi. Maag aja nanti.” Kali ini Kinal berusaha sok menasehati. Padahal ia sendiri malas kalau disuruh makan dengan lidah pahit.
Frieska justru tertawa kecil, “Justru karena udah maag. Makanya nggak bisa makan nasi. Harus em... minum eh, makan bubur buah, hahaha.”

“Akut ya?”
“Begitu.” Frieska menyahut dengan mengendikkan bahu tak begitu peduli.
Aroma karbol yang tak persahabat tapi tetap setia menemani mereka sejak beberapa menit lalu. Ini yang paling Kinal benci dari rumah sakit. Apakah aroma bebas kuman memang seperti ini? Uuuh.

“Aku punya origami ini... ada tujuh ratus. Ini yang ke tujuh ratus.”
“Hah? Maksudnya... origami burung kayak gitu? Kamu rajin banget sampe buat tujuh ratus!”
Frieska mengangguk singkat. “Tau mitos seribu burung kertas kan...”

**

Ya, mitos tentang siapa yang mampu membuat seribu burung kertas maka permohonannya akan terwujud. Kinal pernah dengar itu. Lantas apa tujuan Frieska membuat sebegitu banyak burung kertas? Sampai tujuh ratus?

Namun, nyatanya Kinal justru menikmati hari-harinya di rumah sakit sekarang. Membantu Frieska membuat origami burung sesekali. Membiarkan detik-detik membosankan di rumah sakit berganti obrolan ringan tentang pribadi masing-masing. Menikmati tiap waktu yang terajut itu, sampai hari terakhir ia di rawat. Walau sampai kapanpun Kinal tetap tidak akan menikmati makanan rumah sakit yang berasa-sop-garam-doang.
Bersyukur karena ia menemukan teman seperti Frieska yang bisa mengacuhkan jenuh sejenak. Pertemuan sederhana karena bosan sendirian di lobi. Tentu, mereka sama-sama menemukan matahari terbit dan muncul di cakrawala timur sana.

Begitu selesai menyimpul tali sepatunya, ia mengekori Mamanya untuk turun. Menyusuri langkahnya di belakang. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu. Sekali ia menatapi punggung Mamanya yang sudah berbelok. Kinal meraih kenop dan memutarnya.
Seketika ia ada di ruang yang beberapa hari ini disinggahi. Mendapatinya dengan keadaan kosong. Sebentar... suara air dari toilet terdengar begitu kencang. Apa karena ruangan ini sepi?

“Uhuk... Hoeek.”

“Fries...?” Suaranya tertahan, mempertajam telinganya sendiri. “Frieska?” lanjutnya agi setengah heran.

Clek, creek.

“Kinal? Aku di toilet.”
Ia hanya perlu mendorong pelan pitunya kerana sudah tidak perkunci. Mungkin Frieska sedang sibuk di wastafel mebersihkan sesuatu dari mulutnya agar tidak terlihat oleh Kinal. Muntah kan?
Sayangnya, cermin di hadapan Frieska tidak bisa membohongi Kinal. Dengan sempurna ia mengatakannya dengan nyata, sudut-sudut bibir yang berdarah. Muntah... darah? Aduh, buluk kuduk Kinal merinding sendiri jadinya.

“Kamu gak apa-apa?” pertanyaan retorik, basa-basi kelewat basi yang model begini mah!
“Enggak. Gak kenapa-napa kok. Kamu udah mau pulang ya? Ciee udah nggak makan sop garem lagi habis ini!”

Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Bibirnya lebih kering, matanya juga lebih sayu. Ah, bukan. Kinal baru sadar, Frieska memang begini dari awal pertemuan. Seberapa parah sebenarnya penyakit kamu, Fries?
“Seneng bisa ketemu teman kayak kamu buat beberapa hari ini. Jangan sampai sakit lagi ya, kalau nggak mau makan sop garem lagi!”

Frieska menggaruk tengkuknya beberapa kali. Binggung ditatapi Kinal seperti ini. Matanya yang tidak tajam tapi terlihat begitu tegas membuatnya jadi ketar-ketir sendiri.
“Ini... buat kamu.” Kinal mengulurkan sebuah box, dengan jelas ada beberapa burung kertas di dalamnya. “Cuma bisa buat sebelas doang. Jadi sekarang ada berapa?”

**

Ruangan ini nyaris penuh dengan toples-toples kaca yang berjejer rapi di atas rak buku, atau beberapa berderet di meja dekat jendela. Isinya bukan kupu-kupu, atau ikan cupang seperti mainannya waktu SD. Tapi burung-burung kertas, yang disimpan rapi di dalamnya.
Kinal pun milih duduk lesehan di karpet bulat di tengah ruangan bernuansa broken white ini. Kamar Frieska, ya, dia sekarang ada disana. Setelah dua minggu kemarin ia menjengguki Frieska terus-menerus dirumah sakit sampai akhirnya gadis itu diperbolehkan pulang.

“Nih, diminum.”
“Ya ampun, Fries. Air putih doang. Tadi nawarin soda. Atau gak, apa kek gitu yang berwarna, yang ada rasanya.”
“Kasih garem ya?” sahut Fieska sambil menaikkan dua alisnya.
“Garem mulu. Bosen akh, udah hampir sebulanan keluar rumah sakit tau.”
“Yaudah itu aja. Gak baik minum air berwarna.”

Kinal hanya mendengus kecil, walau sebenarnya ia tidak masalah juga dengan air putih, eh air bening, bukan-bukan tapi air mineral. Ia pun merebahkan kepalanya di sofa, menatapi pantulan menyilaukan dari toples-toples kaca.
“Heh, Fries. Emang itu burung kertasnya mau buat apa sih?”
“Ya... buat di kumpulin sampai seribu.”
“Percaya mitos, gitu?”
Kinal dengan jelas melihat Frieska binggung begitu ditanya. Apa sebenarnya Frieska memang tidak memiliki tujuan dengan burung-burung kertas ini?
“Sebenernya...”
Gadis ini bangkit dari sandarannya, duduk sejajar dengan Frieska yang memeluk lututnya. Mengekori gerik sekecil apapun dari ekor mata.

“Sebenernya, aku selalu menumpu tiap harapan di setiap burung kertas. Gitu sih... err, dan nggak setiap waktu juga bikin burung kertas. Cuma... waktu pengen aja. Jadi selama ini, gak ada yang bantuin untuk buat burung kertas itu, selain kamu.”

Selanjutnya terlalu banyak jeda yang tidak bisa dihapuskan dan dibiarkan tetap kosong begitu saja. Tidak ada usaha unuk mencari-cari kata sekedar mematahkan bisu. Kinal diam-diam menikmati sangkar kaca si burung kertas. Harapan-harapan itu terkumpul di dalam kaca yang begitu rentan pecah. Begitu bening.
“Yaudah, aku pulang, ya. Udah jam empat, ada les soalnya.”

Tidak ada elakan atau ucapan selamat tinggal. Frieska hanya berdiri di teras depan dan melambai kepada Kinal. Yang perlahan menjauh dengna mobilnya. Ia pun meraih satu origami dan mulai melipat saat tiba di kamar.

Matahari sudah mau berangkat untuk kepergiannya menyongsong senja sepertinya.

**

Mungkin hari ini tidak ada hujan sama sekali. Tidak juga dengan gerimis yang mengguyur Jakarta sore itu. Tapi suasana pemakaman akan tetap sama sampai kapanpun. Seakan ada naungan awan mendung yang selalu meneteskan gerimis diatasnya.

Hal ini yang membuat Kinal enggan meninggalkan kamarnya. Bahkan seharusnya ia keluar sejak lima jam lalu. Meninggalkan rumahnya sebentar, mengantarkan sebuah kepergian. Sayangnya itu tidak terjadi.
Ia seperti petapa yang tanpa suara mengurung diri di kamar. Mencari wangsit kenapa pertemuannya terlalu singkat. Bertanya-tanya pada udara yang lalu-lalang dikamarnya, sampai akhirnya ia sadar sudah terlalu gila karena menganjak angin berbicara.

Apa Frieska tidak bosan makan-makanan rumah sakit, tidak bosan dengan makanan lembek?

Kenapa burung-burung kertas itu di letakkan di toples kaca? Bukankah ada kotak, kardus, atau laci?

Dari kapan burung-burung kertas itu dibuat? Sudah ada berapa ratus sejak terakhir kali?

Harapan apa yang terakhir kali Frieska buat, ya? Apa harapan itu adalah burung kertas yang keseribu?

Kinal menghembuskan nafas panjang. Akhirnya beranjak dari ranjang setelah lima jam lalu ia berlari ke kamar dan menguncinya. Meraih laci teratas meja belajarnya, mengambil kertas persegi. Origami berwarna hitam.

Sama kayak kamu, Fries. Ini harapan.

Burung kertasnya dibiarkan ada di tengah meja belajar. Ditatapi dengan seksama. Jari-jarinya mencari box prakaryannya kelas X kemarin, seharusnya ada tali kur disana, yang warnanya putih bening. Ah! Benar saja, masih ada.
Kinal berjalan ke arah jendela kamar yang menghadap pekarangan depan rumahnya. Mencari celah untuk bisa menyelipkan tali di jendela. Membiarkan burung kertas itu bergelayut di tiup angin sore, angin-angin senja.

Ia kembali ke kursi meja belajar, tapi memutar posisi kurisnya hingga bisa menatap jendela dengan jelas. Warna hitam kertas yang membuat burung itu seperti siluet di mata Kinal. Siluet burung yang terbang di ujung jendelanya.

Harapan itu terbang bebas –seperti kelihatannya- di pundak kecil burung kertas. Menikmati terpaan kebebasan angin dunia. Harapannya akan terbang jauh, Fries. Mengarungi langit yang begitu luas, menyebrangi samudra tanpa ujung, dan selalu menemui paginya tiap kali matahari terbit.

Satu burung kertasku membawa seribu harapan kamu yang terkukung di toples kaca. Burung kecil ini, satu burung kecil ini. Yang sebenarnya seribu burung kertas, seribu harapan kamu.

**

Finally! (~^-^)~~(^-^)~~(^-^~) yeyeye berhubung menulis itu adalah pemuas batin, gak tau itu cerita bagus apa kagak, ada yang baca apa enggak, yang penting cerita ini kelar yeeaaay! Cek juga yang disini ya! Bukan Pertanyaan Aku Tidak Melihat Matahari Senja
@AgilHape

Senin, 20 Mei 2013

Fanfic JKT48 - Bukan Pertanyaan


Cinta adalah anugerah terbesar dalam hidup seseorang. Semua orang bisa merasakan cinta. Dengan caranya masing-masing, orang-orang selalu menemukan dan mempertahankan cinta mereka tersebut.
Cinta kepada orang tua.
Cinta untuk hewan peliharaan.
Macam-macam cinta yang bisa diekspresikan dengan cara masing-masing. Tapi cinta ini, cinta sederhanaku kepadanya adalah sebagaimana menjaga cinta ini tertap bersemi tanpa pernah gugur.

Dan menyimpan dengan hangat di sebuah tabung waktu.

**

Pelajaran Geografi di jam ketiga-keempat di hari Selasa adalah hari yang sebenarnya aku tunggu-tunggu. Berjalan pelan melewati lapangan, memperhatikan satu titik yang tidak akna pernah luput dari pandanganku.

“Opeeeer! Woy! Nyantai!”

Seketika si pelempar tertawa. Ya, senyum itu yang selalu aku perhatikan. Sesuatu yang magis selalu menyergapku tiba-tiba. Mereka kembali lagi berlari, di tengah lapangan berusaha untuk bermain basket, walau hasilnya sudah seperti ikan yang baru dilempari pelet.
“Hahaha...!” ups sepertinya aku sudah memancing mereka untuk behenti bermain. “Sorry, sorry, nggak maksud ngetawain kok. Udah lanjutin lagi aja!”
“Huuuu!” semua bersorak, tidak sudi dihina begitu mungkin. “Modus mulu lo kalo kita OR!” salah satu menyeletuk diantara mereka.

Tak lama, Jeje mulai bersorak, “Nyariin siapa lo? Hah? Shania lagi?”
Aku hanya tertawa, sadar betul gadis itu juga ikut tertawa merekah. “Itu tau! Salamin buat dia, Je!”
Maka kata-kata tadi disambut heboh. Shania sendiri juga menanggapi dengan candaan. Terlihat begitu jelas Jeje yang paling bar-bar dan semangat meledek. “Nggak deliv salam lo! Beda operator sih! Ngomong aja makanya!”
Aku mengacungkan jempol, kemudian berteriak. “Shania! Cetak score ya!”

Dan mulai berjalan meninggalkan mereka. Membiarkan permainan basket tadi di gantikan oleh ceng-cengan dengan Jeje sebagai komandannya.
Lebih baik begini, sekedar bercanda. Menutupi sesuatu yang memang harus ditutupi. Begitu kan, Shan?

**

Sekolah ini terletak di tengah-tengah perumahan. Ada di blok C, jadi letak sekolah ini cukup dekat dengan pintu depan perumahan. Sedangkan rumahku sendiri, lebih dekat dengan pintu barat, ada di blok I –jauh kan? Jauh, sangat jauh orz.Karenanya aku lebih memilih untuk memboyong sepeda tiap pagi.
Lain halnya dengan seorang gadis yang sedang duduk di pos satpam. Biasanya dia sudah dijemput oleh adiknya dengan motor. Tapi kiniia sedang sendiri, memainkan ponselnya.

Sejenak, mataku memandanginya dari pintu parkiran. Wajahnya sangat berbeda, 180 derajat. Cengiran khasnya yang terkesan jahil, tawanya mengisyarakatkan kebahagian, sorot mata yang tidak kenal lelah. Semua sirna.

Sorotnya terkesan lembut, lirih, menghanyutkan. Gurat wajah yang terkesan tenang, bukan seperti partner Jeje untuk berceletuk. Bukan yang biasanya.

Lantas aku mengayuh pedal ini pelan. “Twitter mulu.” Celetukku, membuat Shania menoleh.
“Yee... sok tau lo. Orang lagi chat.”
“Kok belum pulang? Nungguin gue ya?”

Wajahnya berubah masam, mau tak mau membuatku tertawa. Iniyang selalu membuatku melontarkan kata-kata GR super. Wajahnya yang sebenarnya menahan antara tawa dan senyuman. Matanya yang menjadi indikator, menyipit.
“Nungguin sepupu sih ya. Mau jalan. Lagian ngapain sih, kepooo.”
Aku turun dari sepeda, kemudian duduk sampingnya. “Haduuuh. Sepupu lo cewek apa cowok?”
“Apaaa siiih, nanya-nanya.” Gerutunya, tapi toh akhirnya menyahut, “Beby yang mau main. Ikh, apa sih senyum-senyum gitu?”
Ah ya, Beby. Si gadis irit ngomong yang sering main dengan Shania. “Dia udah punya pacar belum?” sahutku, refleks menggoda Shania seperti biasa.

Shania berpikir sebentar, “Nah itu orangnya dateng! Tanya aja sendiri!” ia menunjuk sebuah mobil yang berhenti di depan gerbang, kemudian keluarlah Beby. “Beeeb! Ditanyain tuh, udah punya pacar apa belum!”
Yang ditanya hanya tertawa kecil, “Nggak mau pacaran.” Sialnya, Shania menarik satu kelopak matanya dengan telunjuk dan melet.

“Berarti gue memang ditakdirkan buat elo, Shan. Hahaha~”
“Tembaklah.” Sahut Beby singkat, tapi tersenyum penuh arti kepadaku. Apa Shania pernah bercerita sesuatu ya, tentangku?

“Lo mau nggak, Shan, jadi pacar gue?” aku bertanya, tapi bercampur tawa. Lelucon.
“Ye~ apa sih lo, abang-abang modus. Udah, gue mau jalan!”

Lantas mereka berlalu, aku hanya bisa melihat rambutnya mengikuti gerak bahu. Melewati gerbang. Disambut Beby yang menjahili sepupunya. Sayangnya aku tidak bisa melihat rona wajahnya.

Apa kamu tidak menghiraukan pertanyaanku?

**
Sialnya hari ini aku harus pulang telat karena rapat OSIS. Mau tidak mau harus keluar dari sekolah pukul 7. Keluar dari ruang OSIS berbarengan.
“Besok jangan lupa minta izin jam ketiga ya?” Kak Melody mencolek bahuku, membuatku mengangguk singkat. “Siangnya kakak mau udah terima listnya. Oke?”
“Iyaaa kakaaak.” Sahutku malas, sudah tiga kali dari selesai rapat dia mengingatkanku begini.
“Heh.” Sahutnya, mencolek lenganku –lagi.
“Apa sih kak colek-colek terus. Saya bukan sabun colek tau.”
Dia melotot, sudah cukup menyeramkan bagiku. Oh ayolah. “Nanti kamu tuh kalau nggak diingetin –atau nggak besok pagi nggak di sms pasti lupa. Pikun.”
Aku naik ke atas sepeda yang sudah stay di depan ruang OSIS sejak jam lima tadi. “Mau bareng nggak ke depan gerbangnya?—Hehe, peace.” Aku mengacungkan dua jariku, sadar aura sudah memburuk. “Kalo gitu duluaaan!”

Dari tempat ini, aku melihat siluetnya. Berdiri tegak, sedang menikmati alunan musik dari headset. Membuatku, lagi-lagi menghampirinya. Menghentikan sepeda tepat di depannya.Tanpa suara, kami hanya saling pandang untuk beberapa detik. Aku menerka sejenak, apa yang sebenarnya ada di dalam otaknya –atau hatinya?
“Mana Ray?” aku menyebut nama adiknya.
“Tadi dia keluar, jadi agak lama nunggunya.”
Aku mengangguk, “Rumah cuma dua blok dari sini, harus nunggu orang yang lagi di luar kompleks?”
“Gitu deh. Udah malem.”

Lantas kami kembali diam. Mmbiarkan angin malam sejenak mengisi percakapan kosong diantara kami berdua. “Bareng gue, yuk.” Sahutku pelan, menunggu suatu reaksi yang...
“Mau dimana coba? Di depan gitu?”
“Jangan jadul deh ya.” Sahutku, sadar maksudnya dia harus duduk di depanku, seperti nona belanda gitu.
Dia mengerutkan keningnya, “Terus—“
“Berdiri di belakang. Udah ayo, daripada Ray nggak balik-balik.”
Shania menatapku ragu, kemudian memandang sepadaku. Tapi kemudian dia naik juga. “Err... harus pegang pundak?”

“Peluk juga boleh kok. Hehehe.” Tapi sayangnya dia tidak menanggapi candaanku.
Aku pun mulai melajukan sepadaku, membiarkan dia memengangi seujung tasku. Tidak menambah kecepatan, juga tidak menguranginya. Supaya Shania tetap stabil berdiri di sepeda dengan posisi rentan jatuh.

Menikmati malam ini... berdua... selama tiga-empat menit. Kenangan yang membayar sedikit lelahku seharian. Melupakan ocehan dan instruksi KetuPlak beberapa saat.

Menjadi penyemangat kerja keras yang akan kujalani beberapa minggu ke depan. Shan, kamu tahu, seberapa hangat hati ini sekarang...?

**

Istirahat pertama dan aku memilih untuk sarapan di kantin. Pagi ini benar-benar parah. Aku telat bangun, tidak sarapan, dan... telat begitu tiba di sekolah.
Ini semua karena tiga hari kemarin –juga akan berlanjut- sibuk dengan proposal. Tiga jam stelah pulang sekolah harus duduk di depan komputer di ruang OSIS untuk berkutat dengan layout proposal. Sialnya, Kak Melody menginginkan beberapa desain proposal!
Belum lagi proposal untuk kebutuhan mencari sponsor acara.
Logo yang ngaret diberikan oleh anak kelas XI.
Belajar untuk ulangan besok pagi.
Tugas sekolah yang keteteran.
Sisa gelas-gelas kopi.
Mata ngantuk.
Ah ya, Shania sedang bercengkrama dengan teman seklasnya di ujung kantin.
...
...
“Shania!” aku berseru. Sumpah aku sendiri kaget kenapa bisa melupakan gadis itu. Err... kenapa juga aku harus berteriak sebegitu keras di kantin bgini?

“Heeeh, di cariin tuh!” Jeje mulai lagi.
Kepalang tanggung, aku menghampiri mereka. Menyelip diantara zombie lapar, kemudian berdiri tepat di belakangnya. “Geser Je!”
Jeje memutar kedua matanya, “Baik Mblo.” Seketika aku menoyorkepalannya. “Apa sih. Lo kan emang jomblo, mblo.”
“Naik kasta dia. Makanya sekarang semua orang di panggil jomblo.” Gadis berambut pendek itu berkomentar.
Pantas bocah ini jadi seenaknya panggil orang single dengan sebutan jomblo-jomblo. “Eh, Shania pacar gue ya. Lagian emang ada yang mau sama elo apa?”
“Ooo, belum tau dia!” empat orang ini berseru bersamaan. “Encu mau tau!” Shania berteriak menggebu.

Jeje yang diakatai begitu justru tertawa lebar. Encu itu sebutan untuk seorang pedagang mie ayam di kantin. Kenapa di panggil Encu? Mungkin dia cucu dari pemilik kios mie ayam kali ya? Ya... nggak tau juga sih.

“Udahlah, makan cepet. Gue mau nyalin tugasnya Kinal nih, gara-gara ngosis dari sore jadi belum sempet ngerjain bio.”
Oh ya, gadis berambut pendek tadi namanya Kinal. “Emang kemarin lo pulang jam berapa?”
“Ya ampuun. Gue itu balik duluan kok. Kan gue teriak dari pintu. Emang lo balik jam berapa kemaren? Passsti malem.”
“Aaa! Tadi pagi lo telat terus di hukum lari kan? Gue liat tuh. Eh, tadi gue jugangeliat Kak Reno telat lho... bla bla.” Kinal memulai topik random. Emang dasar cewek, lagi ngomong apaa, nyambung kemana...

Shania menyenggol tanganku pelan, “Udah sarapan belum lo?”
“Ehem! Ohok, ohok.”
“Kenapa, Del?”
“Keselek tronton.”

“Aduuuh, lupa. Tadi juga sebenernya mau sarapan ke sini. Yaudah, pesen dul—“
“Makan punya gue aja deh. Belum gue sentuh sama sekali. Tapi ganti dui—“

Meja ini semakin heboh, padahal kata-kata Shania belum selesai. Sejujurnya aku merasa terbang, ini memang hal terdahsyat yang pernah terjadi!
Sedangkan Shania masih berusaha melerai dan memberi penjelasan, sampai dia akhirnya kesal sendiri. “Ikh! Dengerin dulu! Gue mau ngomong! Berisik bangt sih!”

“Heeehe, iya-iya, apaan?” Delima akhirnya melerai kehebohan ini. “Ssstt Ssstt.”
“Tapi lo ganti duitnya, darpiada nggak kemakan. Terus lo lama ngantri juga.”
Gubrak.

Hal yang membahagiakan istirahat pertama ini adalah : Aku duduk disamping Shania sembari menikmati sarapan, bisa mencuri pandang dan melihat tawanya yang renyah di tengah guyon. Tapi yang pling aku sesali adalah terjebak di meja perempuan yang begitu heboh... orz.

**


Cinta itu suara yang tak mengharapkan jawaban tapi di kirimkan satu arah

Dua bulan ini semua urusan untuk turnamen basket di sekolah sudah selesai. Proposal ditandatangi sekolah, surat-surat izin sudah diurus, undangan dan banner sudah disebar ke berbagai sekolah. Tinggal menunggu dana terkumpul beberapa persen lagi dari uang registrasi klub.
Namun, Kak Melody adalah orang yang tidak bisa melihat orang bernafas lega sebelum acara berakhir. Maka hari ini, aku sudah ada pagi buta begini di sekolah.

“Langkah tegap majuu!— Jalan!”

Pukul sembilan pagi. Dan anak-anak paskibra sudah ada di lapangan. Duapuluh sekian orang, membentuk formasi.
Termasuk Shania.
Berhubung rapat belum dimulai, aku memilih untuk melihat mereka dari depan orang OSIS, yang kebetulan ada di samping mereka. Memperhatikan tiap keringat yang mengucur melalui anak rambut yang lepas dari kuncir kudanya.
Gerak tubuh yang tegas.
Hentakkan tangan dan kaki yang begitu serempak.
“Ngeliatin siapa sih?” Kak Melody duduk di sampingku, ikut duduk di lantai.

Aku tidak menjawab sama sekali. Membuat kak Melody –mungkin- mengikuti ekor mataku. Sampai akhirnya ia menebak sendiri. “Shania.”
“Hahaha. Transparant bangetya?” Tapi kenapa semua orang bisa dengan jelas melihat perasaan ini? Kenapa tidak dengan Shania?
“Kamu mungkin terlalu frontal.”
Aku bangkit, merentangkan otot-otot. “Nanti sms kalau udah mulai.” Aku bangkit, pergi ke kantin. Meyegarkan pikiran.

Setelah membeli sebuah kopi kaleng, aku memilih untuk duduk di salah satu deret meja. Ekskul baru saja mulai, jadinya ya kantin masih sepi. Biasanya sih, kalau sudah sekitar pukul 11 baru ada istirahat bebas –atau justru sudah selesai?
“Tapi ini mending lho, biasanya jam 10.” Sangat kentara mereka segeromolan anak paskibra, terdengar dari irama sepatu mereka.
Masih ramai, sampai suara-suara kaki itu menjauh. Tuk, tuk. Gemanya mendekatiku perlahan. Siapa ya? Entah, aku memunggungi orang-orangyang memasuki kantin.

“Rapatnya udah mulai lho.”
Aku berbalik, “Baru istirahat?”
“Rapatnya udah mulai.” Shania mengulangnya sekali lagi. Sadar tidak ingin aku mengubah topik bahasan. “Anggota OSIS macam apa yang ninggalin rapat?”
Aku tersenyum tipis, “Anggota OSIS yang nunggu kamu hampir satu tahun.” Oh god!
Guratnya langsung kaku begitu kan. Membuat kami jadi sama-sama diam. Tidak saling berbicara, tidak saling bertatap. Baru saja kak Melody mengingatkan, jangan frontal. Lantas kenapa jadi kelepasan?

“Mau minum?” Dia menyodorkan sebotol isotonik, berusaha untuk mencarikan suasana. Pun hanya kutunjukkan kaleng kopi. “Jangan suka ngopi –dalam bentuk apapun. Gigi lo udah mulai kuning, nanti di kira ngerokok aja.”
“Thanks udah perhatian sama gue.” Aku menatapnya, pelan, berusaha untuk menyiratkannya. Dengan pasti.
Shania melempar pandangannya –entah kemana- yang jelasbukan mataku. “Gue... gue balik ke dapan ya? Lo juga rapat sana.”

Lagi-lagi ia pergi. Lagi dan terus lagi hanya pundaknya yang bisa kulihat dengan jelas. Bayangannya memanjang seiring langkah kaki yang menjauh, diantara pohon di sepanjang jalan blok D.

Ciiit. “Gue anter balik.”

Tadi, ketika anak-anak paskibra memilih untuk pulang pukul 1 siang. Aku juga memilih untuk keluar dari ruang OSIS dengan dalih baru mengingat sebuah janji. Jadi, disinilah aku sekarang.
“Err... serius?”
“Kapan gue nggak serius?”

Akhirnya dia memilih untuk naik tanpa ba-bi-bu. Selama perjalanan menuju Blok E No 14, perjalan pulang kedua yang sudah terjadi, dia mulai meletakkan tangannya di bahuku. Meberikan kepercayaan? Atau kode?
“Lo sering kok nggak serius.” Shania menyahut percakapan yang sudah agak lama itu.
“Modus-modus itu lo nggak anggep serius?”
Beberapa jeda, “Emang lo pernah serius?”

Aku memberhentikan sepedaku. Diantara sebuah pohom palem dari rumah di kiri jalan. Aku sangat berusahauntuk merangkai sebuah kalimat. Sialnya, aku memang tidak di takdirkan untuk berbelit-blit.

“Selama ini gue modusin lo, atau apalah itu. Termasuk nembak lo, itu serius.”

Berhubung dia tidak bersuara, aku melanjutkan kata-kataku. “Atau perlu gue ngomong sekali lagi neh? Hah? Gue beneran sayang sama lo, Shania.” Kali ini aku tidak memberikan pertanyaan, pertanyaan selalu membutuhkan jawabankan?
Benar saja, rasa sayang ini berwujud dalam sebuah pernyataan. Pernyataan tidak membutuhkan jawaban, tapi kadang membutuhkan komentar. Kenapa aku baru menyadarinya? orz...

Lantas roda sepeda kembali melaju.

Shania mendorong bahuku cukup keras, dengan sambutan tawa yang sangat aku rindukan hadirnya selama persiapan turnamen. Beberapa minggu padat, istirahat di kelas, pelajaran Geografi yang tidak bisa ditinggal, pulang larut sore, aku rindu tawanya, sungguh.
“Dasar, abang-abang modus.”
Hanya seperti ini adanya. Aku yang akan terus memiliki cinta ini. Aku yang akan terus menjaganya untuk tetap bersemi, di sini, di dalam hati. Menikmati kehangatannya, mencandu adiksi senyumnya.

Cara sederhanaku untuk terus menjaga cinta untuk Shania : Pusat dari segala rotasi rasa sayang. Episentrum dari gempa terdahsyat karena rindu.


Karena cinta, adalah suara yang tidak pernah mengharapkan jawaban.

**

Ada beberapa lagi sih, tp masih in progress gitu... hehehe (coba cek salah satu yang udah kelar lagi Burung-Burung Kertas Aku Tidak Melihat Matahari senja
@AgilHape


Jumat, 22 Maret 2013

Kesendirian Adalah Candu


Bagi sebagian orang candu adalah ganja, rokok, atau kopi bisa juga cinta, dan mungkin seorang perempuan bagi laki-laki.
Untuk saya candu mungkin kopi hitam di pagi hari, dengan koneksi internet super lancar. Atau yang lainnya adalah gerimis sebelum dan setelah hujan besar di sekolah.
Tapi candu terdahsyat bagi saya adalah :
Sendiri.
Karena bagaimanapun saya, saya selalu mencari kesendirian itu.
Di angkot, saya berusaha untuk bergulat dengan pikiran saya.
Di komputer, saya selalu benci chat room. Berisik.
Di lapangan, saya hanya memilih layangan dan memainkannya dengan angin.
Di kamar, guling saya peluk erat, untuk meredam debad di luar.
Di kelas bahkan, saya lebih memilih tengkurap dari pada ngobrol dengan teman.
Bahkan,
Ketika teman saya lebih memilih bermain becek saat hujan deras menguyur tengah hari di sekolah, saya akan duduk di kursi panjang. Lagi-lagi di depan lab. Multimedia.
Dengan sebuah novel bagus. Juga dengan kesendirian yang selalu saya ciptakan.
Karena saya hanyalah pecandu kesendirian.

Ingat, kamu datang dan duduk di sampingku,
mengatakan, “Di dalem berisik ya?”


Sabtu, 02 Maret 2013

Katanya, teman.

Kehidupan kadang memang terasa begitu ‘anjing’ dan penuh dengan tai-tai menjijikkan. Aku kadang harus berkotor-kotor dan kadang mungkin akan dibiarkan mati sampai membusuk.
Kadang harus berlari di selokan panjang. Sunyi dan sendiri. Mengolah air limbah yang bercampur tai-tai tadi. Mengusap air mata dan di basuh air butek, entah dari campuran apa. Mungkin sisa air ikan dari pasar, atau air kencing yang bercampur bau parfum orang-orang kelas tinggi.
Aku kadang membiarkan orang-orang yang memaksa naik ke dunia atas. Membujuk dan tersenyum begitu menawan. Berusaha menarikku, agar tidak sendiri di dunia terpuruk dalam selokan.
Persetan.
Tangan-tangan itu menjulur, dan kadang aku berusaha meraih. Tapi apa?!
Bangsat kalian semua!
Aku berusaha menarik satu diantara sekian tangan yang ada. Meraih jari-jemarinya perlahan. Berusaha membersihkan diri dari kotoran dan aroma busuk.
Ketika tangan kotorku menyentuh jari-jari kalian. Tiba-tiba tangan super bersih itu tertarik ke atas sendiri! Sekali lagi menghempaskanku. Kenapa? Ada apa?!
Kalian merasa jijik setelah mengenalku? Setelah menyentuh jemariku yang berlumur kotoran?
Setaaaaaan!
Aku terjatuh entah untuk ke berapa. Aku terhempas lebih keras di atas tumpukkan tai manusia –entah manusia yang mana. Lebih hina lagi dan terjatuh makin dalam.
Sial.
Sialan.
Sialaaaan kaliaaan!


Didedikasikan untuk (seorang) teman saya,
Yang mengkhianati kepercayaan yang sudah saya buat.

Minggu, 10 Februari 2013

Terminologi Dalam Jaringan

Multiuser                          :  Kemampuan komputer untuk melayani lebih dari satu pengguna.
Multitasking                     :  Kemampuan untuk melakukan beberapa proses dalam waktu bersamaan.
Multiprogramming         :  Kemampuan untuk melakukan bebrapa program sekaligus dalam waktu yang relative bersamaan.
Stand Alone                     : Komputer yang berdiri sendiri, tidak terhubung ke jaringan.
Node                                 : Diasumsikan sebagai workstation.
Centralized Processing   :  System pengolah data, yangmana pengaturan seluruh anggota system dilakukan oleh pengendali pusat.
Described Processing      : System pengolah data, yangmana pengolah data tersebut dilakukan pada masing-masing terminal.
Host                                  :  Anggota jaringan dimana semua proses pengolahan data berlangsung.
Routing                            :  Pengaturan rute dalam jaringan komputer.
Repeater                           :  Alat yang berfungsi sebagai penguat sinyal.
Bridge                               :  Perangkat yang digunakan untuk menghubungkan 2 buah jaringan LAN yang berbeda pada lapisan OSI 1 dan 2.
Gateway                           :  Perangkat yang berfungsi untuk menghubungkan 2 buah jaringan yang memiliki perbedaan pada lapisan OSI.
OSI                                   : Open System Interconnection.

Mulok Multimedia