Ketika langit
berubah menjadi gelap dan matahari sudah pulang keperaduan garis horizon.
Memantulkan sedikit sinar dari matahari, bulan terlihat redup di balik awan
keabu-abuan. Bercampur dengan jingga warna lampu jalanan, Jakarta indah ya?
Gedung-gedung
tingkat di sepanjang Sudirman terlihat bagai tumpukkan emas yang menjulang di
langit. Jalanan padat merayap menjadi satu-satunya yang paling kita nanti
bukan? Agar kita bisa menghabiskan waktu.
Sperti apa hari ini yang telah di lewati,
Pasti terpikir saat dijalan pulang
Aku akan
menghabiskan satu lagi hari dengan sia-sia. Duduk ditepian garis jalanan,
menghisap rokok sampai asap terakhir. Aku tidak perlu memikirkan apa yang
terjadi hari ini. Karena aku bahkan tidak pernah lagi pulang.
Tidak lagi menemukan
rumah untuk pulang.
**
Mobil yang dipacu
malam buta begini menimbulkan angin yang semilir di jalanan yang lenggang.
Menghembuskan dedaunan, menghempaskan debu, meniup usil anak rambutku. Namun
tidak menggetarkan sedikit pun perasaanku.
Apa aku tidak
lagi bisa menyadari kebahagian yang hanya sedikit?
Apa aku akan
terus membiarkan matahari terbenam tiap sorenya?
Apa aku bisa
hidup sendiri seperti ini terus?
Apa aku dapat
hidup untuk jadi diri sendiri?
Kinal, jawab
pertanyanku. Seperti biasanya...
**
Kamu yang membawa
aku ke sini untuk pertama kalinya. Sebenarnya, ini bukan satu tempat rahasia,
bukan tempat yang spesial. Hanya di atas jembatan penyebrangan di depan
sekolah.
Hari itu kita
pulang sore, ingat? Kamu menarik tanganku tepat ke tengah jembatan layang.
Hanya berdiri di sana untuk beberapa saat, memberikan jeda disela keheningan
yang terlalu panjang.
“Anginnya enak
ya~ yaaa walaupun macet, banyak debu. Tapi, liat deh.” Dua ibu jari dan
telunjukmu membuat frame landscape, menghadap ke arah gedung-gedung tinggi di
depan. “Orang-orang terlalu sibuk sama macet, hahaha. Gak sadar sama
pemandangan sederhana yang bagus kayak gini.”
Yang lantas
menghancurkan sedikit rutinitasku tiap kali melewati jembatan itu. Tiap ada
kesempatan aku bisa pulang sore, aku akan berdiri beberapa menit di sana.
Menikmati macet Jakarta dari atas sini, dan memandangi garis-garis pucat dari
gedung yang terlalu jauh di depan.
Ketenangan...
Benang-benang
masalah mengurai perlahan, mengendur, melepaskan diri dan mencari ujungnya
masing-masing. Aku merenung, membenahi diri, melerai perkelahian dalam hati. Meski
benang masalah yang tertarik dari berbagai arah menimbulkan luka.
Luka yang selama
ini tidak sakit. Luka yang selama ini baik-baik saja. Luka yang selama ini
ternyata belum mengering. Luka yang tidak terasa karena tidak dihiraukan.
“Woy!”
“Apaan sih, Nal.”
“Ye~ ngapain sih,
udah kayak mau makan orang aja sih.”
“Lagi punya
masalah ya~ Pastilah. Tapi ya, gue bilangin, hidup tanpa masalah adalah makan
tempe tanpa kedelai.”
“Yah berarti itu
elo. Makan tempe tanpa kedelai!”
Kamu hanya
tertawa dan memukul pundakku beberapa kali. Tawa yang terasa begitu mengejek, “Siapa
bilang? Lagian emang kalo lo punya masalah harus mem-pu-bli-ka-si-kannya ke
orang banyak? Satu orang cukup kali. Emang lo mau bikin orang lain kepikiran
juga. Apalagi mami-papi dirumah. Beuh~”
“Ya berarti lo
menitik beratkan masalah lo sama satu orang doang dong? Gak kasian dianya?
Kenapa gak sekalian gak lo kasih tau kesiapa-siapa aja hah?”
Entah apa
maksudmu, kamu hanya diam dan menatap lurus-lrus ke depan. Apa kamu sedang
berpikir? Atau kamu membiarkan aku untuk berpikir?
Semburat abu-abu
gedung pencakar langit perlahan menjadi siluet tipis berwarna kejinggaan.
Berganti pula latarnya menjadi hitam dan kerlip lampu kendaraan. Dan kamu masih
diam dalam kekosongan yang kamu ciptakan.
“Kapal akhirnya
berlabuh di satu dermaga. Busway koridor 9 juga masih pinang ranti ujungnya.
Semua akhirnya bakal pulang ke rumah yang sama tiap waktunya. Gak ada yang bisa
hidup di dunia ini sendirian, mereka bakalan cari tempat buat pulang. Buat
ngelepas topeng yang lo pasang di depan orang selain dia.”
Topengku lepas
sejak hari itu, di depan kamu. Namun terakhir kali aku melepas topeng itu, aku
tidak lagi menemukannya.
**
“Langitnya keren!
Sunset!”
Ini kali pertama
aku melihat kamu berteriak ketika senja memulai ritualnya. Matamu membulat
takjub dengan senyum tak berhenti mengembang. “Aaa~ lo harus liat ini lagi
besok-besok.”
“Gak beneran
yakin gue, Nal. Seharusnya juga, gue udah gak ketemu kata besok.”
Bibirmu hanya
melengkung tipis diujung-ujungnya. Membentuk senyum cherry yang terlihat begitu
manis. “Gimana pun hari ini atau besok, gimana pun masalah yang lo lagi hadepin
nih ya. Harus tetap lo jalanin kayak biasa, harus lo selesaiin masalahnya. Gak
boleh berhenti di satu titik.”
“Harapan selalu
ada. Buat melengkapi atau menemukan suatu hal.”
Detik berikutnya
diisi jeda panjang dan edisi hari menikmati senja dari jembatan ini. Aku
melihat langit mentari senja. Dengan sosokmu yang masih meninggalkan senyuman.
Waktupun berlalu dan sosoknya terlihat
begitu indahnya
Begitulah hari ini berakhir
**
Dan berbagai hal
telah terjadi. Menimbulkan salah paham dan kehilangan arah yang begitu parah.
Menjadikan hanya segumpal kata-kata kasar tak seronoh. Bentuk pelampiasan
ketidakberdayaan menjadi diri sendiri?
Aku bergegas
mencari jalan pulang, jalan menuju rumahku sebenarnya. Kamu tahu kan, rumahku untuk
kembali adalah kamu?
Kehilangan rute
yang baisanya. Tidak lagi mengikuti tempo permainan. Aku berhenti di satu titik
yang sama karena kelelahan. Menjadi jejak langkah dirimu yang menghilang di
telan langit senja sore itu.
Berikutnya waktu
bergulir dan kamu tidak pernah kembali.
Lantas aku juga
tidak menemukan tempat untuk kembali.
Aku tidak bisa
melihat sedikit saja lebih baik saat ini. Aku kehilangan diriku sendiri, Kinal.
Seharusnya kamu tahu itu. Kamu bilang semua orang akan pulang ke rumah bukan? Lalu
memikirkan segalanya dijalan pulang. Menyelesaikan segalanya.
Tapi aku bahkan
kehilangan jalan untuk pulang. Rumahku hilang. Ruteku hilang. Karena kamu
hilang, Kinal!
**
Angin menerpa
kaos oblong milikku.
Mobil-mobil
berharga milyaran itu masih berpacu di malam Jakarta. Membiarkan aku menatapi
mereka dari atas jembatan layang, sekarang. Senja sudah hilang sejak tadi. Aku
tidak lagi bisa melihat matahari senja yang begitu indah seperti kemarin.
Aku hanya melihat
langit yang sudah menjadi gelap.
Dengan angin yang
menyeret siapapun ke dalam gravitasnya.
Langit hitam berubah menjadi gelap,
Di hias oleh bintik garis yang terbentuk
dari bintang-bintang
Pembatas jalanan
terasa lebih dingin dari angin malam. Untuk kali ini, aku benar-benar
merindukan langit senja bersama kamu. Dua hal ini terasa begitu berlawanan
Kinal. Aku rindu kehangatan rumahku sendiri.
**
Ketika deru angin
karena balapan mobil di bawah makin cepat, adrenalinku juga mulai terpacu.
Tidak lagi peduli seberapa dingin pembatas jemabatan layang ini di kulit
kakiku.
Aku makin merasa
diriku tertarik oleh gravitasi angin dari mereka yang di bawah.
Sebenarnya aku
benar-benar merindukanmu.
Merindukan
kehangatan matahari senja.
Merindukan
kehangatan rumah.
Tapi sayang, aku
tidak bisa menemukan jalan pulang.
Satu langkah
ringan, lampu-lampu jingga Jakarta berubah menjadi senja yang begitu tua.
Menerangi tembok-tembok kota yang kotor dan cat piloks yang mengelupas.
Walau seketika
semua berubah menjadi merah, amis, berbau aspal jalanan.
Decitan mobil
terdengar berbarengan dengan gemertak tiang pembatas jalan.
Dan aku melihatmu
bersama diriku di atas jembatan. Tersenyum begitu manis untuk terakhir kalinya,
meski kepada diriku yang lain.
Begitulah hariku
berakhir.
[The End]
Cerpen di atas bercerita tentang remaja.
BalasHapusCerpen yang bercerita tentang sekolah dan hubungan insan remaja.
BalasHapusCerita pendek yang bercerita tentang sore hari di Jakarta.
BalasHapusSaya sangat gemar membaca cerpen remaja. Cerita di atas tentang remaja di sore hari.
BalasHapusdengan menggunakan kaos oblong, mobil berharga milyaran itu bergerak mengarungi malam di Jakarta.
BalasHapus