Selasa, 05 November 2013

Fanfic JKT48 - Aku Tidak Melihat Matahari Senja

Ketika langit berubah menjadi gelap dan matahari sudah pulang keperaduan garis horizon. Memantulkan sedikit sinar dari matahari, bulan terlihat redup di balik awan keabu-abuan. Bercampur dengan jingga warna lampu jalanan, Jakarta indah ya?


Gedung-gedung tingkat di sepanjang Sudirman terlihat bagai tumpukkan emas yang menjulang di langit. Jalanan padat merayap menjadi satu-satunya yang paling kita nanti bukan? Agar kita bisa menghabiskan waktu.

Sperti apa hari ini yang telah di lewati,
Pasti terpikir saat dijalan pulang

Aku akan menghabiskan satu lagi hari dengan sia-sia. Duduk ditepian garis jalanan, menghisap rokok sampai asap terakhir. Aku tidak perlu memikirkan apa yang terjadi hari ini. Karena aku bahkan tidak pernah lagi pulang.
Tidak lagi menemukan rumah untuk pulang.

**
Mobil yang dipacu malam buta begini menimbulkan angin yang semilir di jalanan yang lenggang. Menghembuskan dedaunan, menghempaskan debu, meniup usil anak rambutku. Namun tidak menggetarkan sedikit pun perasaanku.

Apa aku tidak lagi bisa menyadari kebahagian yang hanya sedikit?

Apa aku akan terus membiarkan matahari terbenam tiap sorenya?

Apa aku bisa hidup sendiri seperti ini terus?

Apa aku dapat hidup untuk jadi diri sendiri?

Kinal, jawab pertanyanku. Seperti biasanya...

**
Kamu yang membawa aku ke sini untuk pertama kalinya. Sebenarnya, ini bukan satu tempat rahasia, bukan tempat yang spesial. Hanya di atas jembatan penyebrangan di depan sekolah.
Hari itu kita pulang sore, ingat? Kamu menarik tanganku tepat ke tengah jembatan layang. Hanya berdiri di sana untuk beberapa saat, memberikan jeda disela keheningan yang terlalu panjang.

“Anginnya enak ya~ yaaa walaupun macet, banyak debu. Tapi, liat deh.” Dua ibu jari dan telunjukmu membuat frame landscape, menghadap ke arah gedung-gedung tinggi di depan. “Orang-orang terlalu sibuk sama macet, hahaha. Gak sadar sama pemandangan sederhana yang bagus kayak gini.”

Yang lantas menghancurkan sedikit rutinitasku tiap kali melewati jembatan itu. Tiap ada kesempatan aku bisa pulang sore, aku akan berdiri beberapa menit di sana. Menikmati macet Jakarta dari atas sini, dan memandangi garis-garis pucat dari gedung yang terlalu jauh di depan.

Ketenangan...

Benang-benang masalah mengurai perlahan, mengendur, melepaskan diri dan mencari ujungnya masing-masing. Aku merenung, membenahi diri, melerai perkelahian dalam hati. Meski benang masalah yang tertarik dari berbagai arah menimbulkan luka.
Luka yang selama ini tidak sakit. Luka yang selama ini baik-baik saja. Luka yang selama ini ternyata belum mengering. Luka yang tidak terasa karena tidak dihiraukan.

“Woy!”
“Apaan sih, Nal.”
“Ye~ ngapain sih, udah kayak mau makan orang aja sih.”
“Lagi punya masalah ya~ Pastilah. Tapi ya, gue bilangin, hidup tanpa masalah adalah makan tempe tanpa kedelai.”
“Yah berarti itu elo. Makan tempe tanpa kedelai!”

Kamu hanya tertawa dan memukul pundakku beberapa kali. Tawa yang terasa begitu mengejek, “Siapa bilang? Lagian emang kalo lo punya masalah harus mem-pu-bli-ka-si-kannya ke orang banyak? Satu orang cukup kali. Emang lo mau bikin orang lain kepikiran juga. Apalagi mami-papi dirumah. Beuh~”

“Ya berarti lo menitik beratkan masalah lo sama satu orang doang dong? Gak kasian dianya? Kenapa gak sekalian gak lo kasih tau kesiapa-siapa aja hah?”
Entah apa maksudmu, kamu hanya diam dan menatap lurus-lrus ke depan. Apa kamu sedang berpikir? Atau kamu membiarkan aku untuk berpikir?

Semburat abu-abu gedung pencakar langit perlahan menjadi siluet tipis berwarna kejinggaan. Berganti pula latarnya menjadi hitam dan kerlip lampu kendaraan. Dan kamu masih diam dalam kekosongan yang kamu ciptakan.
“Kapal akhirnya berlabuh di satu dermaga. Busway koridor 9 juga masih pinang ranti ujungnya. Semua akhirnya bakal pulang ke rumah yang sama tiap waktunya. Gak ada yang bisa hidup di dunia ini sendirian, mereka bakalan cari tempat buat pulang. Buat ngelepas topeng yang lo pasang di depan orang selain dia.”

Topengku lepas sejak hari itu, di depan kamu. Namun terakhir kali aku melepas topeng itu, aku tidak lagi menemukannya.

**

“Langitnya keren! Sunset!”

Ini kali pertama aku melihat kamu berteriak ketika senja memulai ritualnya. Matamu membulat takjub dengan senyum tak berhenti mengembang. “Aaa~ lo harus liat ini lagi besok-besok.”

“Gak beneran yakin gue, Nal. Seharusnya juga, gue udah gak ketemu kata besok.”

Bibirmu hanya melengkung tipis diujung-ujungnya. Membentuk senyum cherry yang terlihat begitu manis. “Gimana pun hari ini atau besok, gimana pun masalah yang lo lagi hadepin nih ya. Harus tetap lo jalanin kayak biasa, harus lo selesaiin masalahnya. Gak boleh berhenti di satu titik.”

“Harapan selalu ada. Buat melengkapi atau menemukan suatu hal.”

Detik berikutnya diisi jeda panjang dan edisi hari menikmati senja dari jembatan ini. Aku melihat langit mentari senja. Dengan sosokmu yang masih meninggalkan senyuman.

Waktupun berlalu dan sosoknya terlihat begitu indahnya
Begitulah hari ini berakhir

**
Dan berbagai hal telah terjadi. Menimbulkan salah paham dan kehilangan arah yang begitu parah. Menjadikan hanya segumpal kata-kata kasar tak seronoh. Bentuk pelampiasan ketidakberdayaan menjadi diri sendiri?
Aku bergegas mencari jalan pulang, jalan menuju rumahku sebenarnya. Kamu tahu kan, rumahku untuk kembali adalah kamu?
Kehilangan rute yang baisanya. Tidak lagi mengikuti tempo permainan. Aku berhenti di satu titik yang sama karena kelelahan. Menjadi jejak langkah dirimu yang menghilang di telan langit senja sore itu.

Berikutnya waktu bergulir dan kamu tidak pernah kembali.
Lantas aku juga tidak menemukan tempat untuk kembali.

Aku tidak bisa melihat sedikit saja lebih baik saat ini. Aku kehilangan diriku sendiri, Kinal. Seharusnya kamu tahu itu. Kamu bilang semua orang akan pulang ke rumah bukan? Lalu memikirkan segalanya dijalan pulang. Menyelesaikan segalanya.
Tapi aku bahkan kehilangan jalan untuk pulang. Rumahku hilang. Ruteku hilang. Karena kamu hilang, Kinal!

**
Angin menerpa kaos oblong milikku.
Mobil-mobil berharga milyaran itu masih berpacu di malam Jakarta. Membiarkan aku menatapi mereka dari atas jembatan layang, sekarang. Senja sudah hilang sejak tadi. Aku tidak lagi bisa melihat matahari senja yang begitu indah seperti kemarin.

Aku hanya melihat langit yang sudah menjadi gelap.
Dengan angin yang menyeret siapapun ke dalam gravitasnya.

Langit hitam berubah menjadi gelap,
Di hias oleh bintik garis yang terbentuk dari bintang-bintang

Pembatas jalanan terasa lebih dingin dari angin malam. Untuk kali ini, aku benar-benar merindukan langit senja bersama kamu. Dua hal ini terasa begitu berlawanan Kinal. Aku rindu kehangatan rumahku sendiri.

**
Ketika deru angin karena balapan mobil di bawah makin cepat, adrenalinku juga mulai terpacu. Tidak lagi peduli seberapa dingin pembatas jemabatan layang ini di kulit kakiku.

Aku makin merasa diriku tertarik oleh gravitasi angin dari mereka yang di bawah.

Sebenarnya aku benar-benar merindukanmu.

Merindukan kehangatan matahari senja.

Merindukan kehangatan rumah.

Tapi sayang, aku tidak bisa menemukan jalan pulang.

Satu langkah ringan, lampu-lampu jingga Jakarta berubah menjadi senja yang begitu tua. Menerangi tembok-tembok kota yang kotor dan cat piloks yang mengelupas.

Walau seketika semua berubah menjadi merah, amis, berbau aspal jalanan.

Decitan mobil terdengar berbarengan dengan gemertak tiang pembatas jalan.

Dan aku melihatmu bersama diriku di atas jembatan. Tersenyum begitu manis untuk terakhir kalinya, meski kepada diriku yang lain.



Begitulah hariku berakhir.

[The End]

5 komentar:

  1. Cerpen di atas bercerita tentang remaja.

    BalasHapus
  2. Cerpen yang bercerita tentang sekolah dan hubungan insan remaja.

    BalasHapus
  3. Cerita pendek yang bercerita tentang sore hari di Jakarta.

    BalasHapus
  4. Saya sangat gemar membaca cerpen remaja. Cerita di atas tentang remaja di sore hari.

    BalasHapus
  5. dengan menggunakan kaos oblong, mobil berharga milyaran itu bergerak mengarungi malam di Jakarta.

    BalasHapus

Tinggal jejakmu di bawah jejak kecilku. Silakan menggunakan Name/URL atau Anonymous :)