Cinta
adalah anugerah terbesar dalam hidup seseorang. Semua orang bisa merasakan
cinta. Dengan caranya masing-masing, orang-orang selalu menemukan dan
mempertahankan cinta mereka tersebut.
Cinta
kepada orang tua.
Cinta
untuk hewan peliharaan.
Macam-macam
cinta yang bisa diekspresikan dengan cara masing-masing. Tapi cinta ini, cinta
sederhanaku kepadanya adalah sebagaimana menjaga cinta ini tertap bersemi tanpa
pernah gugur.
Dan
menyimpan dengan hangat di sebuah tabung waktu.
**
Pelajaran
Geografi di jam ketiga-keempat di hari Selasa adalah hari yang sebenarnya aku
tunggu-tunggu. Berjalan pelan melewati lapangan, memperhatikan satu titik yang
tidak akna pernah luput dari pandanganku.
“Opeeeer!
Woy! Nyantai!”
Seketika
si pelempar tertawa. Ya, senyum itu yang selalu aku perhatikan. Sesuatu yang
magis selalu menyergapku tiba-tiba. Mereka kembali lagi berlari, di tengah
lapangan berusaha untuk bermain basket, walau hasilnya sudah seperti ikan yang
baru dilempari pelet.
“Hahaha...!”
ups sepertinya aku sudah memancing
mereka untuk behenti bermain. “Sorry, sorry, nggak maksud ngetawain kok. Udah
lanjutin lagi aja!”
“Huuuu!”
semua bersorak, tidak sudi dihina begitu mungkin. “Modus mulu lo kalo kita OR!”
salah satu menyeletuk diantara mereka.
Tak
lama, Jeje mulai bersorak, “Nyariin siapa lo? Hah? Shania lagi?”
Aku
hanya tertawa, sadar betul gadis itu juga ikut tertawa merekah. “Itu tau!
Salamin buat dia, Je!”
Maka
kata-kata tadi disambut heboh. Shania sendiri juga menanggapi dengan candaan.
Terlihat begitu jelas Jeje yang paling bar-bar dan semangat meledek. “Nggak
deliv salam lo! Beda operator sih! Ngomong aja makanya!”
Aku
mengacungkan jempol, kemudian berteriak. “Shania! Cetak score ya!”
Dan
mulai berjalan meninggalkan mereka. Membiarkan permainan basket tadi di
gantikan oleh ceng-cengan dengan Jeje sebagai komandannya.
Lebih
baik begini, sekedar bercanda. Menutupi sesuatu yang memang harus ditutupi. Begitu kan, Shan?
**
Sekolah
ini terletak di tengah-tengah perumahan. Ada di blok C, jadi letak sekolah ini
cukup dekat dengan pintu depan perumahan. Sedangkan rumahku sendiri, lebih
dekat dengan pintu barat, ada di blok I –jauh kan? Jauh, sangat jauh orz.Karenanya
aku lebih memilih untuk memboyong sepeda tiap pagi.
Lain
halnya dengan seorang gadis yang sedang duduk di pos satpam. Biasanya dia sudah
dijemput oleh adiknya dengan motor. Tapi kiniia sedang sendiri, memainkan
ponselnya.
Sejenak,
mataku memandanginya dari pintu parkiran. Wajahnya sangat berbeda, 180 derajat.
Cengiran khasnya yang terkesan jahil, tawanya mengisyarakatkan kebahagian,
sorot mata yang tidak kenal lelah. Semua sirna.
Sorotnya
terkesan lembut, lirih, menghanyutkan. Gurat wajah yang terkesan tenang, bukan
seperti partner Jeje untuk berceletuk. Bukan yang biasanya.
Lantas
aku mengayuh pedal ini pelan. “Twitter mulu.” Celetukku, membuat Shania
menoleh.
“Yee...
sok tau lo. Orang lagi chat.”
“Kok
belum pulang? Nungguin gue ya?”
Wajahnya
berubah masam, mau tak mau membuatku tertawa. Iniyang selalu membuatku melontarkan kata-kata GR super. Wajahnya
yang sebenarnya menahan antara tawa dan senyuman. Matanya yang menjadi
indikator, menyipit.
“Nungguin
sepupu sih ya. Mau jalan. Lagian ngapain sih, kepooo.”
Aku
turun dari sepeda, kemudian duduk sampingnya. “Haduuuh. Sepupu lo cewek apa
cowok?”
“Apaaa
siiih, nanya-nanya.” Gerutunya, tapi toh akhirnya menyahut, “Beby yang mau
main. Ikh, apa sih senyum-senyum gitu?”
Ah
ya, Beby. Si gadis irit ngomong yang sering main dengan Shania. “Dia udah punya
pacar belum?” sahutku, refleks menggoda Shania seperti biasa.
Shania
berpikir sebentar, “Nah itu orangnya dateng! Tanya aja sendiri!” ia menunjuk
sebuah mobil yang berhenti di depan gerbang, kemudian keluarlah Beby. “Beeeb!
Ditanyain tuh, udah punya pacar apa belum!”
Yang
ditanya hanya tertawa kecil, “Nggak mau pacaran.” Sialnya, Shania menarik satu
kelopak matanya dengan telunjuk dan melet.
“Berarti
gue memang ditakdirkan buat elo, Shan. Hahaha~”
“Tembaklah.”
Sahut Beby singkat, tapi tersenyum penuh arti kepadaku. Apa Shania pernah
bercerita sesuatu ya, tentangku?
“Lo
mau nggak, Shan, jadi pacar gue?” aku bertanya, tapi bercampur tawa. Lelucon.
“Ye~
apa sih lo, abang-abang modus. Udah, gue mau jalan!”
Lantas
mereka berlalu, aku hanya bisa melihat rambutnya mengikuti gerak bahu. Melewati
gerbang. Disambut Beby yang menjahili sepupunya. Sayangnya aku tidak bisa
melihat rona wajahnya.
Apa kamu tidak menghiraukan
pertanyaanku?
**
Sialnya
hari ini aku harus pulang telat karena rapat OSIS. Mau tidak mau harus keluar
dari sekolah pukul 7. Keluar dari ruang OSIS berbarengan.
“Besok
jangan lupa minta izin jam ketiga ya?” Kak Melody mencolek bahuku, membuatku
mengangguk singkat. “Siangnya kakak mau udah terima listnya. Oke?”
“Iyaaa
kakaaak.” Sahutku malas, sudah tiga kali dari selesai rapat dia mengingatkanku
begini.
“Heh.”
Sahutnya, mencolek lenganku –lagi.
“Apa
sih kak colek-colek terus. Saya bukan sabun colek tau.”
Dia
melotot, sudah cukup menyeramkan bagiku. Oh ayolah. “Nanti kamu tuh kalau nggak
diingetin –atau nggak besok pagi nggak di sms pasti lupa. Pikun.”
Aku
naik ke atas sepeda yang sudah stay di depan ruang OSIS sejak jam lima tadi.
“Mau bareng nggak ke depan gerbangnya?—Hehe, peace.” Aku mengacungkan dua
jariku, sadar aura sudah memburuk. “Kalo gitu duluaaan!”
Dari
tempat ini, aku melihat siluetnya. Berdiri tegak, sedang menikmati alunan musik
dari headset. Membuatku, lagi-lagi menghampirinya. Menghentikan sepeda tepat di
depannya.Tanpa suara, kami hanya saling pandang untuk beberapa detik. Aku
menerka sejenak, apa yang sebenarnya ada di dalam otaknya –atau hatinya?
“Mana
Ray?” aku menyebut nama adiknya.
“Tadi
dia keluar, jadi agak lama nunggunya.”
Aku
mengangguk, “Rumah cuma dua blok dari sini, harus nunggu orang yang lagi di
luar kompleks?”
“Gitu
deh. Udah malem.”
Lantas
kami kembali diam. Mmbiarkan angin malam sejenak mengisi percakapan kosong
diantara kami berdua. “Bareng gue, yuk.” Sahutku pelan, menunggu suatu reaksi
yang...
“Mau
dimana coba? Di depan gitu?”
“Jangan
jadul deh ya.” Sahutku, sadar maksudnya dia harus duduk di depanku, seperti
nona belanda gitu.
Dia
mengerutkan keningnya, “Terus—“
“Berdiri
di belakang. Udah ayo, daripada Ray nggak balik-balik.”
Shania
menatapku ragu, kemudian memandang sepadaku. Tapi kemudian dia naik juga.
“Err... harus pegang pundak?”
“Peluk
juga boleh kok. Hehehe.” Tapi sayangnya dia tidak menanggapi candaanku.
Aku
pun mulai melajukan sepadaku, membiarkan dia memengangi seujung tasku. Tidak
menambah kecepatan, juga tidak menguranginya. Supaya Shania tetap stabil
berdiri di sepeda dengan posisi rentan jatuh.
Menikmati
malam ini... berdua... selama tiga-empat menit. Kenangan yang membayar sedikit
lelahku seharian. Melupakan ocehan dan instruksi KetuPlak beberapa saat.
Menjadi
penyemangat kerja keras yang akan kujalani beberapa minggu ke depan. Shan, kamu tahu, seberapa hangat hati ini
sekarang...?
**
Istirahat
pertama dan aku memilih untuk sarapan di kantin. Pagi ini benar-benar parah.
Aku telat bangun, tidak sarapan, dan... telat begitu tiba di sekolah.
Ini
semua karena tiga hari kemarin –juga akan berlanjut- sibuk dengan proposal.
Tiga jam stelah pulang sekolah harus duduk di depan komputer di ruang OSIS
untuk berkutat dengan layout proposal. Sialnya, Kak Melody menginginkan
beberapa desain proposal!
Belum
lagi proposal untuk kebutuhan mencari sponsor acara.
Logo
yang ngaret diberikan oleh anak kelas XI.
Belajar
untuk ulangan besok pagi.
Tugas
sekolah yang keteteran.
Sisa
gelas-gelas kopi.
Mata
ngantuk.
Ah
ya, Shania sedang bercengkrama dengan teman seklasnya di ujung kantin.
...
...
“Shania!”
aku berseru. Sumpah aku sendiri kaget kenapa bisa melupakan gadis itu. Err...
kenapa juga aku harus berteriak sebegitu keras di kantin bgini?
“Heeeh,
di cariin tuh!” Jeje mulai lagi.
Kepalang
tanggung, aku menghampiri mereka. Menyelip diantara zombie lapar, kemudian
berdiri tepat di belakangnya. “Geser Je!”
Jeje
memutar kedua matanya, “Baik Mblo.” Seketika aku menoyorkepalannya. “Apa sih.
Lo kan emang jomblo, mblo.”
“Naik
kasta dia. Makanya sekarang semua orang di panggil jomblo.” Gadis berambut
pendek itu berkomentar.
Pantas
bocah ini jadi seenaknya panggil orang single dengan sebutan jomblo-jomblo. “Eh,
Shania pacar gue ya. Lagian emang ada yang mau sama elo apa?”
“Ooo,
belum tau dia!” empat orang ini berseru bersamaan. “Encu mau tau!” Shania
berteriak menggebu.
Jeje
yang diakatai begitu justru tertawa lebar. Encu itu sebutan untuk seorang
pedagang mie ayam di kantin. Kenapa di panggil Encu? Mungkin dia cucu dari
pemilik kios mie ayam kali ya? Ya... nggak tau juga sih.
“Udahlah,
makan cepet. Gue mau nyalin tugasnya Kinal nih, gara-gara ngosis dari sore jadi
belum sempet ngerjain bio.”
Oh
ya, gadis berambut pendek tadi namanya Kinal. “Emang kemarin lo pulang jam
berapa?”
“Ya
ampuun. Gue itu balik duluan kok. Kan gue teriak dari pintu. Emang lo balik jam
berapa kemaren? Passsti malem.”
“Aaa!
Tadi pagi lo telat terus di hukum lari kan? Gue liat tuh. Eh, tadi gue jugangeliat
Kak Reno telat lho... bla bla.” Kinal
memulai topik random. Emang dasar cewek, lagi ngomong apaa, nyambung kemana...
Shania
menyenggol tanganku pelan, “Udah sarapan belum lo?”
“Ehem! Ohok, ohok.”
“Kenapa, Del?”
“Keselek tronton.”
“Aduuuh,
lupa. Tadi juga sebenernya mau sarapan ke sini. Yaudah, pesen dul—“
“Makan
punya gue aja deh. Belum gue sentuh sama sekali. Tapi ganti dui—“
Meja
ini semakin heboh, padahal kata-kata Shania belum selesai. Sejujurnya aku
merasa terbang, ini memang hal terdahsyat yang pernah terjadi!
Sedangkan
Shania masih berusaha melerai dan memberi penjelasan, sampai dia akhirnya kesal
sendiri. “Ikh! Dengerin dulu! Gue mau ngomong! Berisik bangt sih!”
“Heeehe,
iya-iya, apaan?” Delima akhirnya melerai kehebohan ini. “Ssstt Ssstt.”
“Tapi
lo ganti duitnya, darpiada nggak kemakan. Terus lo lama ngantri juga.”
Gubrak.
Hal
yang membahagiakan istirahat pertama ini adalah : Aku duduk disamping Shania
sembari menikmati sarapan, bisa mencuri pandang dan melihat tawanya yang renyah
di tengah guyon. Tapi yang pling aku sesali adalah terjebak di meja perempuan
yang begitu heboh... orz.
**
Cinta itu suara yang tak mengharapkan
jawaban tapi di kirimkan satu arah
Dua
bulan ini semua urusan untuk turnamen basket di sekolah sudah selesai. Proposal
ditandatangi sekolah, surat-surat izin sudah diurus, undangan dan banner sudah
disebar ke berbagai sekolah. Tinggal menunggu dana terkumpul beberapa persen
lagi dari uang registrasi klub.
Namun,
Kak Melody adalah orang yang tidak bisa melihat orang bernafas lega sebelum
acara berakhir. Maka hari ini, aku sudah ada pagi buta begini di sekolah.
“Langkah tegap majuu!— Jalan!”
Pukul
sembilan pagi. Dan anak-anak paskibra sudah ada di lapangan. Duapuluh sekian
orang, membentuk formasi.
Termasuk
Shania.
Berhubung
rapat belum dimulai, aku memilih untuk melihat mereka dari depan orang OSIS,
yang kebetulan ada di samping mereka. Memperhatikan tiap keringat yang mengucur
melalui anak rambut yang lepas dari kuncir kudanya.
Gerak
tubuh yang tegas.
Hentakkan
tangan dan kaki yang begitu serempak.
“Ngeliatin
siapa sih?” Kak Melody duduk di sampingku, ikut duduk di lantai.
Aku
tidak menjawab sama sekali. Membuat kak Melody –mungkin- mengikuti ekor mataku.
Sampai akhirnya ia menebak sendiri. “Shania.”
“Hahaha.
Transparant bangetya?” Tapi kenapa semua orang bisa dengan jelas melihat
perasaan ini? Kenapa tidak dengan Shania?
“Kamu
mungkin terlalu frontal.”
Aku
bangkit, merentangkan otot-otot. “Nanti sms kalau udah mulai.” Aku bangkit,
pergi ke kantin. Meyegarkan pikiran.
Setelah
membeli sebuah kopi kaleng, aku memilih untuk duduk di salah satu deret meja.
Ekskul baru saja mulai, jadinya ya kantin masih sepi. Biasanya sih, kalau sudah
sekitar pukul 11 baru ada istirahat bebas –atau justru sudah selesai?
“Tapi ini mending lho, biasanya jam
10.”
Sangat kentara mereka segeromolan anak paskibra, terdengar dari irama sepatu
mereka.
Masih
ramai, sampai suara-suara kaki itu menjauh. Tuk,
tuk. Gemanya mendekatiku perlahan. Siapa ya? Entah, aku memunggungi
orang-orangyang memasuki kantin.
“Rapatnya
udah mulai lho.”
Aku
berbalik, “Baru istirahat?”
“Rapatnya
udah mulai.” Shania mengulangnya sekali lagi. Sadar tidak ingin aku mengubah
topik bahasan. “Anggota OSIS macam apa yang ninggalin rapat?”
Aku
tersenyum tipis, “Anggota OSIS yang nunggu kamu hampir satu tahun.” Oh god!
Guratnya
langsung kaku begitu kan. Membuat kami jadi sama-sama diam. Tidak saling
berbicara, tidak saling bertatap. Baru saja kak Melody mengingatkan, jangan
frontal. Lantas kenapa jadi kelepasan?
“Mau
minum?” Dia menyodorkan sebotol isotonik, berusaha untuk mencarikan suasana.
Pun hanya kutunjukkan kaleng kopi. “Jangan suka ngopi –dalam bentuk apapun.
Gigi lo udah mulai kuning, nanti di kira ngerokok aja.”
“Thanks
udah perhatian sama gue.” Aku menatapnya, pelan, berusaha untuk menyiratkannya.
Dengan pasti.
Shania
melempar pandangannya –entah kemana- yang jelasbukan mataku. “Gue... gue balik
ke dapan ya? Lo juga rapat sana.”
Lagi-lagi
ia pergi. Lagi dan terus lagi hanya pundaknya yang bisa kulihat dengan jelas.
Bayangannya memanjang seiring langkah kaki yang menjauh, diantara pohon di
sepanjang jalan blok D.
Ciiit.
“Gue anter balik.”
Tadi,
ketika anak-anak paskibra memilih untuk pulang pukul 1 siang. Aku juga memilih
untuk keluar dari ruang OSIS dengan dalih baru mengingat sebuah janji. Jadi,
disinilah aku sekarang.
“Err...
serius?”
“Kapan
gue nggak serius?”
Akhirnya
dia memilih untuk naik tanpa ba-bi-bu. Selama perjalanan menuju Blok E No 14,
perjalan pulang kedua yang sudah terjadi, dia mulai meletakkan tangannya di
bahuku. Meberikan kepercayaan? Atau kode?
“Lo
sering kok nggak serius.” Shania menyahut percakapan yang sudah agak lama itu.
“Modus-modus
itu lo nggak anggep serius?”
Beberapa
jeda, “Emang lo pernah serius?”
Aku
memberhentikan sepedaku. Diantara sebuah pohom palem dari rumah di kiri jalan. Aku
sangat berusahauntuk merangkai sebuah kalimat. Sialnya, aku memang tidak di
takdirkan untuk berbelit-blit.
“Selama
ini gue modusin lo, atau apalah itu. Termasuk nembak lo, itu serius.”
Berhubung
dia tidak bersuara, aku melanjutkan kata-kataku. “Atau perlu gue ngomong sekali
lagi neh? Hah? Gue beneran sayang sama lo, Shania.” Kali ini aku tidak
memberikan pertanyaan, pertanyaan selalu membutuhkan jawabankan?
Benar
saja, rasa sayang ini berwujud dalam sebuah pernyataan. Pernyataan tidak
membutuhkan jawaban, tapi kadang membutuhkan komentar. Kenapa aku baru
menyadarinya? orz...
Lantas roda sepeda kembali melaju.
Shania
mendorong bahuku cukup keras, dengan sambutan tawa yang sangat aku rindukan
hadirnya selama persiapan turnamen. Beberapa minggu padat, istirahat di kelas,
pelajaran Geografi yang tidak bisa ditinggal, pulang larut sore, aku rindu
tawanya, sungguh.
“Dasar,
abang-abang modus.”
Hanya
seperti ini adanya. Aku yang akan terus memiliki cinta ini. Aku yang akan terus
menjaganya untuk tetap bersemi, di sini, di dalam hati. Menikmati
kehangatannya, mencandu adiksi senyumnya.
Cara
sederhanaku untuk terus menjaga cinta untuk Shania : Pusat dari segala rotasi
rasa sayang. Episentrum dari gempa terdahsyat karena rindu.
Karena cinta, adalah suara yang
tidak pernah mengharapkan jawaban.
@AgilHape