Burung-Burung Kertas
Awan-awan berarak
membelah langit senja. Membiarkan warnanya yang putih bersih sedikit tercemar
warna kekuningan yang begitu hangat. Kenapa malam harus disambut orkestra yang
begitu mengagumkan?
Senja adalah
perpisahan. Perpisahan yang begitu mengagumkan diujung manisnya harapan karena
pertemuan. Kemudian pelan-pelan senja itu akan menghilang, dan benar-benar
menjadi perpisahan seutuhnya. Yang tidak akan menemui matahari di cakrawala.
Kinal menepi di
ujung jendela, menghadiri pekarangan depan rumahnya. Sayang ya, jendela ini
membelakangi matahari tenggelam. Tapi bukankah lebih baik kita tidak melihat
perpisahan?
Kusen kayu
berwarna putih itu ia remas kuat-kuat. Warna langit sudah mulai berubah menjadi
merah-kebiruan yang begitu tua. Ah, sudah harus berpisah sekarang ya?
Jarinya bergetar
pelan, menarik tali tipis yang berbandul punggung burung kertas hitam. Lantas
tangannya yang lain menyusuri jendela. Membiarkan ujung tali yang satunya
tercantol di jendela.
Burung kertas itu
bergoyang-goyang, terlihat seperti siluet. Siluet burung kertas hitam, burung
kertas hitam dengan latar langit yang membelakangi senja.
Langkah kaki
Kinal mulai mundur. Memutar kursi meja belajar, hanya untuk mendapatkan view
burung kertasnya. Menyadari matahari sudah benar-benar tertelan di bagian barat
sana.
Sudah malam.
**
Sudah dua hari
ini Kinal di rawat di rumah sakit. Sebenarnya tidak ada alasan yang begitu kuat
kenapa ia harus melakukan rawat inap, setidaknya itu menurut pemikirannya
sendiri. Siapa sih yang mau dirawat di rumah sakit terus makan makanan tawar
begitu?
“Adoooh.” Kinal
mulai rempong kalau sudah tengah hari begini. Pantatnya sudah panas kalau harus
duduk sendirian disini. Nyaris 2 x 24! Duduk, tiduran, duduk lagi. 48 jam! 48! 2
hari! Bayangkaaaan!
Makanya sekarang
ia sudah berjalan menuju lobi lantai 4. Berdiri di retori pembatas koridor
rawat. Lagi-lagi, ia melihat dengan jelas gadis itu duduk di sofa terujung.
Sendirian seperti kemarin-kemarin.
“Hai.” Gadis itu mendongak
begitu mendapati seorang dengan seragam rumah sakit berdiri dihadapannya.
“Err... Boleh... Gabung, gak. Ehm...?”
“Frieska.”
Sahutnya pelan.
“Yah, emm.
Kenalin, Kinal.” Kinal mengulurkan tangannya, sebenarnya takut juga tidak
dibalas. Lah, orangnya aja cuek begini. Arrrgggh, salah cari kenalan!
Tanpa diduga,
Frieska menyambut uluran tangan Kinal dengan hangat. Senyum tipis yang begitu
memabukkan itu menghapus keraguan Kinal seketika. “Hm. Aku Frieska. Salam
kenal, Kinal.”
**
Sudah dua jam
sejak kakaknya pergi keluar, katanya sih mau makan siang. Mungkin dia makan siang
di neptunus kali, lama banget habisnya. Jenuh juga ‘kan lagi-lagi ditinggal
sendirian.
Kinal bangkit
dari tidurnya, menyambar iPod dan headset dari nakas. Clek. Ia mendorong pintu.
Tepat ketika matanya menyusuri bagian kanan koridor yang berujung di sebuah
jendela yang cukup besar. Seseorang berdiri disana, memainkan sebuah origami
yang tidak begitu jelas di mata Kinal.
“Frieesssskaaaa.
Oy! Oy! Oy! Lagi ngapain?”
Frieska tidak
menoleh, ia hanya menghentikan gerakkannya. Membuat Kinal jadi serba-salah
sendiri. “Err... ganggu ya? Ganggu banget?”
“Enggak. Cuma
kaget doang.”
Kinal pun
mengambil tempat di samping Frieska. Ikut menatapi lapangan parkir rumah sakit
yang besar. “Udah makan belom?” Kinal lagi-lagi yang membuka percakapan. Gatel
juga tau mulut, ada temen ngobrol tapi malah diem-dieman.
“Tuh, belum
habis. Bosen sih. Kamu?”
Dahinya otomatis
berkerut-kerut, hanya melihat sebuah botol berisikan setengah... emm,
sepertinya jus. Ya ampun, sebodoh-bodohnya Kinal dengan sandi rumput atau
semapore tapi dia masih mengerti isyarat mata yang melirik itu kan?
“Ikh. Nggak baik
lagi sakit bukannya makan nasi. Maag aja nanti.” Kali ini Kinal berusaha sok
menasehati. Padahal ia sendiri malas kalau disuruh makan dengan lidah pahit.
Frieska justru
tertawa kecil, “Justru karena udah maag. Makanya nggak bisa makan nasi. Harus
em... minum eh, makan bubur buah, hahaha.”
“Akut ya?”
“Begitu.” Frieska
menyahut dengan mengendikkan bahu tak begitu peduli.
Aroma karbol yang
tak persahabat tapi tetap setia menemani mereka sejak beberapa menit lalu. Ini
yang paling Kinal benci dari rumah sakit. Apakah aroma bebas kuman memang
seperti ini? Uuuh.
“Aku punya
origami ini... ada tujuh ratus. Ini yang ke tujuh ratus.”
“Hah?
Maksudnya... origami burung kayak gitu? Kamu rajin banget sampe buat tujuh
ratus!”
Frieska
mengangguk singkat. “Tau mitos seribu burung kertas kan...”
**
Ya, mitos tentang
siapa yang mampu membuat seribu burung kertas maka permohonannya akan terwujud.
Kinal pernah dengar itu. Lantas apa tujuan Frieska membuat sebegitu banyak
burung kertas? Sampai tujuh ratus?
Namun, nyatanya
Kinal justru menikmati hari-harinya di rumah sakit sekarang. Membantu Frieska
membuat origami burung sesekali. Membiarkan detik-detik membosankan di rumah
sakit berganti obrolan ringan tentang pribadi masing-masing. Menikmati tiap
waktu yang terajut itu, sampai hari terakhir ia di rawat. Walau sampai kapanpun
Kinal tetap tidak akan menikmati makanan rumah sakit yang
berasa-sop-garam-doang.
Bersyukur karena
ia menemukan teman seperti Frieska yang bisa mengacuhkan jenuh sejenak.
Pertemuan sederhana karena bosan sendirian di lobi. Tentu, mereka sama-sama
menemukan matahari terbit dan muncul di cakrawala timur sana.
Begitu selesai
menyimpul tali sepatunya, ia mengekori Mamanya untuk turun. Menyusuri
langkahnya di belakang. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu. Sekali ia
menatapi punggung Mamanya yang sudah berbelok. Kinal meraih kenop dan memutarnya.
Seketika ia ada
di ruang yang beberapa hari ini disinggahi. Mendapatinya dengan keadaan kosong.
Sebentar... suara air dari toilet terdengar begitu kencang. Apa karena ruangan
ini sepi?
“Uhuk... Hoeek.”
“Fries...?”
Suaranya tertahan, mempertajam telinganya sendiri. “Frieska?” lanjutnya agi
setengah heran.
Clek, creek.
“Kinal? Aku di
toilet.”
Ia hanya perlu mendorong
pelan pitunya kerana sudah tidak perkunci. Mungkin Frieska sedang sibuk di wastafel
mebersihkan sesuatu dari mulutnya agar tidak terlihat oleh Kinal. Muntah kan?
Sayangnya, cermin
di hadapan Frieska tidak bisa membohongi Kinal. Dengan sempurna ia mengatakannya
dengan nyata, sudut-sudut bibir yang berdarah. Muntah... darah? Aduh, buluk
kuduk Kinal merinding sendiri jadinya.
“Kamu gak
apa-apa?” pertanyaan retorik, basa-basi kelewat basi yang model begini mah!
“Enggak. Gak
kenapa-napa kok. Kamu udah mau pulang ya? Ciee udah nggak makan sop garem lagi
habis ini!”
Wajahnya terlihat
lebih pucat dari biasanya. Bibirnya lebih kering, matanya juga lebih sayu. Ah,
bukan. Kinal baru sadar, Frieska memang begini dari awal pertemuan. Seberapa
parah sebenarnya penyakit kamu, Fries?
“Seneng bisa
ketemu teman kayak kamu buat beberapa hari ini. Jangan sampai sakit lagi ya,
kalau nggak mau makan sop garem lagi!”
Frieska menggaruk
tengkuknya beberapa kali. Binggung ditatapi Kinal seperti ini. Matanya yang
tidak tajam tapi terlihat begitu tegas membuatnya jadi ketar-ketir sendiri.
“Ini... buat
kamu.” Kinal mengulurkan sebuah box, dengan jelas ada beberapa burung kertas di
dalamnya. “Cuma bisa buat sebelas doang. Jadi sekarang ada berapa?”
**
Ruangan ini
nyaris penuh dengan toples-toples kaca yang berjejer rapi di atas rak buku,
atau beberapa berderet di meja dekat jendela. Isinya bukan kupu-kupu, atau ikan
cupang seperti mainannya waktu SD. Tapi burung-burung kertas, yang disimpan
rapi di dalamnya.
Kinal pun milih
duduk lesehan di karpet bulat di tengah ruangan bernuansa broken white ini.
Kamar Frieska, ya, dia sekarang ada disana. Setelah dua minggu kemarin ia
menjengguki Frieska terus-menerus dirumah sakit sampai akhirnya gadis itu
diperbolehkan pulang.
“Nih, diminum.”
“Ya ampun, Fries.
Air putih doang. Tadi nawarin soda. Atau gak, apa kek gitu yang berwarna, yang
ada rasanya.”
“Kasih garem ya?”
sahut Fieska sambil menaikkan dua alisnya.
“Garem mulu.
Bosen akh, udah hampir sebulanan keluar rumah sakit tau.”
“Yaudah itu aja.
Gak baik minum air berwarna.”
Kinal hanya mendengus
kecil, walau sebenarnya ia tidak masalah juga dengan air putih, eh air bening,
bukan-bukan tapi air mineral. Ia pun merebahkan kepalanya di sofa, menatapi
pantulan menyilaukan dari toples-toples kaca.
“Heh, Fries.
Emang itu burung kertasnya mau buat apa sih?”
“Ya... buat di
kumpulin sampai seribu.”
“Percaya mitos,
gitu?”
Kinal dengan
jelas melihat Frieska binggung begitu ditanya. Apa sebenarnya Frieska memang
tidak memiliki tujuan dengan burung-burung kertas ini?
“Sebenernya...”
Gadis ini bangkit
dari sandarannya, duduk sejajar dengan Frieska yang memeluk lututnya. Mengekori
gerik sekecil apapun dari ekor mata.
“Sebenernya, aku
selalu menumpu tiap harapan di setiap burung kertas. Gitu sih... err, dan nggak
setiap waktu juga bikin burung kertas. Cuma... waktu pengen aja. Jadi selama
ini, gak ada yang bantuin untuk buat burung kertas itu, selain kamu.”
Selanjutnya
terlalu banyak jeda yang tidak bisa dihapuskan dan dibiarkan tetap kosong
begitu saja. Tidak ada usaha unuk mencari-cari kata sekedar mematahkan bisu.
Kinal diam-diam menikmati sangkar kaca si burung kertas. Harapan-harapan itu
terkumpul di dalam kaca yang begitu rentan pecah. Begitu bening.
“Yaudah, aku
pulang, ya. Udah jam empat, ada les soalnya.”
Tidak ada elakan
atau ucapan selamat tinggal. Frieska hanya berdiri di teras depan dan melambai
kepada Kinal. Yang perlahan menjauh dengna mobilnya. Ia pun meraih satu origami
dan mulai melipat saat tiba di kamar.
Matahari sudah
mau berangkat untuk kepergiannya menyongsong senja sepertinya.
**
Mungkin hari ini
tidak ada hujan sama sekali. Tidak juga dengan gerimis yang mengguyur Jakarta
sore itu. Tapi suasana pemakaman akan tetap sama sampai kapanpun. Seakan ada
naungan awan mendung yang selalu meneteskan gerimis diatasnya.
Hal ini yang
membuat Kinal enggan meninggalkan kamarnya. Bahkan seharusnya ia keluar sejak lima
jam lalu. Meninggalkan rumahnya sebentar, mengantarkan sebuah kepergian.
Sayangnya itu tidak terjadi.
Ia seperti petapa
yang tanpa suara mengurung diri di kamar. Mencari wangsit kenapa pertemuannya
terlalu singkat. Bertanya-tanya pada udara yang lalu-lalang dikamarnya, sampai
akhirnya ia sadar sudah terlalu gila karena menganjak angin berbicara.
Apa Frieska tidak
bosan makan-makanan rumah sakit, tidak bosan dengan makanan lembek?
Kenapa
burung-burung kertas itu di letakkan di toples kaca? Bukankah ada kotak,
kardus, atau laci?
Dari kapan
burung-burung kertas itu dibuat? Sudah ada berapa ratus sejak terakhir kali?
Harapan apa yang
terakhir kali Frieska buat, ya? Apa harapan itu adalah burung kertas yang
keseribu?
Kinal
menghembuskan nafas panjang. Akhirnya beranjak dari ranjang setelah lima jam
lalu ia berlari ke kamar dan menguncinya. Meraih laci teratas meja belajarnya,
mengambil kertas persegi. Origami berwarna hitam.
Sama kayak kamu,
Fries. Ini harapan.
Burung kertasnya
dibiarkan ada di tengah meja belajar. Ditatapi dengan seksama. Jari-jarinya
mencari box prakaryannya kelas X kemarin, seharusnya ada tali kur disana, yang
warnanya putih bening. Ah! Benar saja, masih ada.
Kinal berjalan ke
arah jendela kamar yang menghadap pekarangan depan rumahnya. Mencari celah
untuk bisa menyelipkan tali di jendela. Membiarkan burung kertas itu bergelayut
di tiup angin sore, angin-angin senja.
Ia kembali ke
kursi meja belajar, tapi memutar posisi kurisnya hingga bisa menatap jendela
dengan jelas. Warna hitam kertas yang membuat burung itu seperti siluet di mata
Kinal. Siluet burung yang terbang di ujung jendelanya.
Harapan itu
terbang bebas –seperti kelihatannya- di pundak kecil burung kertas. Menikmati
terpaan kebebasan angin dunia. Harapannya akan terbang jauh, Fries. Mengarungi
langit yang begitu luas, menyebrangi samudra tanpa ujung, dan selalu menemui
paginya tiap kali matahari terbit.
Satu burung kertasku membawa seribu harapan
kamu yang terkukung di toples kaca. Burung kecil ini, satu burung kecil ini.
Yang sebenarnya seribu burung kertas, seribu harapan kamu.
**
Finally! (~^-^)~~(^-^)~~(^-^~)
yeyeye berhubung menulis itu adalah pemuas batin, gak tau itu cerita bagus apa
kagak, ada yang baca apa enggak, yang penting cerita ini kelar yeeaaay! Cek
juga yang disini ya! Bukan Pertanyaan Aku Tidak Melihat Matahari Senja
@AgilHape